KENDARI__SIMPULINDONESIA.COM,— Kalau ada “pemilihan” politisi Sulawesi Tenggara paling sakti mandraguna di mata hukum, saya kira kita semua sepakat memilih Ali Mazi, mantan Gubernur Sultra yang kini duduk sebagai Anggota DPR RI.
Betapa tidak sependek ingatan saya beliau sudah beberapa kali tersangkut masalah hukum, tetapi selalu lolos seperti belut yang dilumuri minyak.
Kasus pertama yang hendak menyeret Ali Mazi ke meja hijau adalah dugaan korupsi pengadaan genset untuk proyek PLTD di Kabupaten Konawe.
Proyek ini terdiri dari dua tahap, masing-masing bernilai sekitar 7,5 miliar (2003) dan 20,6 miliar rupiah (2004).
Dugaan modus operandinya sederhana saja: harga genset diduga digelembungkan. Peran Ali Mazi? Sangat vital. Dialah penggagas program sekaligus penunjuk langsung perusahaan pemasok, PT Paramindo Sapta Utama. Tapi kasus ini, seperti banyak kasus lain, kemudian menguap begitu saja, terbawa angin.
Kasus kedua tak kalah dahsyat: dugaan korupsi perpanjangan HGB Hotel Hilton (kini Hotel Sultan) milik PT Indobuildco. Nilai kerugian negaranya mencapai Rp1,9 triliun.
Dalam kasus ini, Ali Mazi ditetapkan sebagai tersangka bersama beberapa nama besar lain. Namun, lagi-lagi kesaktiannya muncul. Ia divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat, sementara salah satu rekannya justru dihukum. Kalau ini bukan kesaktian, Kalianlah yang menamainya, entah apa.
Kini, “kesaktiannya” itu kembali diuji lewat kasus dugaan korupsi pengadaan kapal Azimut Atlantis 43, kapal operasional Gubernur untuk berkeliling wilayah pesisir.
Masalahnya, kapal yang seharusnya baru itu ternyata bekas buatan Italia tahun 2016, dan lucunya lagi masih berbendera Singapura. BPKP pun tak sungkan menyebut nilai pengadaannya sebesar 8,056 miliar rupiah sebagai total loss, kerugian total bagi negara. Karena pada dasarnya, ya… kapal itu bahkan belum menjadi milik Indonesia.
Dalam kasus tersebut Polda Sultra sudah menetapkan tiga tersangka: Aslaman (PPK), Aini Landia (penyedia), dan Idris (PPTK). Dua sudah ditahan, satu belum.
Namun yang paling menarik adalah konstruksi keterlibatan Ali Mazi. Dari berbagai keterangan termasuk dari Idris, Ali Mazi disebut sebagai penggagas proyek, penentu pelaksana, hingga pengarah teknis.
Bahkan pertemuan perencanaan proyek disebut berlangsung di rumahnya di Jakarta. Lengkap sudah. Pertanyaannya sederhana saja:
Dengan semua fakta yang terbentang begitu telanjang, apakah kesaktian Ali Mazi akan luntur?
Terus terang, saya pesimis. Bukan karena beliau punya jimat atau saya tiba-tiba menjadi cenayang, tapi karena melihat “cara” Polda menangani kasus ini, rasanya logika hukum sedang jalan santai pakai sandal jepit pula.
Kasus yang sebenarnya sederhana ini sudah tiga tahun bergulir tanpa juga sampai ke pengadilan. Keterlambatan yang begitu lama membuat kita terperangah.
Padahal kenyataan bahwa kapal itu bekas, sering rusak, dan masih berbendera Singapura saja sudah cukup menjadi pintu masuk dugaan korupsi. Apalagi BPKP sudah menyatakan keseluruhan uang negara yang dipakai membeli kapal itu hilang alias menjadi kerugian bagi negara.
Lebih lucu lagi, Polda tampaknya kurang bersemangat memeriksa Ali Mazi. Informasi yang saya dapat, beliau baru diperiksa karena diminta Kejati demi kelengkapan berkas, bukan karena inisiatif Polda sendiri. Dan pemeriksaannya pun di Jakarta, bukan di Mapolda Kendari. Ini semacam “layanan jemput bola”, tapi versi pejabat kelas berat nan sakti mandraguna.
Jadi, tampaknya kesaktian Ali Mazi masih kuat, atau bisa jadi bukan karena beliau benar-benar sakti mandraguna, tetapi mungkin karena kita masih punya budaya menghukum pencuri-pencuri kecil dan memercayakan negeri kepada pencuri-pencuri besar.
Entahlah. Mari kita lihat episode selanjutnya, siapa tahu ada “plot twist”, meski saya pribadi tidak terlalu berharap. Peluangnya sangat kecil, seperti mengharapkan MU konsisten selalu menang di Liga Inggris.
Penulis : Endang SA Ketua Dewan Pendiri YLBH Sultra.



