Media pers telah beradaptasi dari era cetak yang dominan menuju digitalisasi yang tak terelakkan. Surat kabar, majalah, radio, dan televisi kini bersaing dengan platform digital seperti situs berita online, media sosial, dan aplikasi streaming. Menurut data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), lebih dari 70% masyarakat Indonesia mengakses berita melalui ponsel pintar pada 2024, menandakan pergeseran besar dari media konvensional. Kecepatan, aksesibilitas, dan interaktivitas menjadi tuntutan utama pembaca, mendorong media untuk berinovasi dalam penyajian konten.
Namun, transisi ini tidak selalu mulus. Banyak media tradisional berjuang menghadapi penurunan pendapatan iklan, sementara platform digital raksasa seperti Google dan Meta menguasai pasar periklanan. Selain itu, maraknya hoaks dan misinformasi di media sosial telah mengikis kepercayaan publik terhadap jurnalisme berkualitas. Refleksi ini menggarisbawahi pentingnya media pers untuk terus menjaga integritas, independensi, dan kualitas jurnalistik di tengah tekanan ekonomi dan teknologi.
Ke depan, media pers dihadapkan pada sejumlah tantangan kompleks. Pertama, tekanan ekonomi tetap menjadi ancaman utama. Penurunan pendapatan iklan dan langganan mendorong beberapa media untuk mengandalkan model paywall atau konten berbayar, tetapi rendahnya kesediaan masyarakat membayar berita menjadi hambatan. Data dari Dewan Pers menunjukkan bahwa hanya 15% pengguna internet di Indonesia bersedia membayar untuk konten berita premium pada 2025.
Kedua, penyebaran hoaks dan polarisasi semakin mengancam kredibilitas media. Dengan algoritma media sosial yang memprioritaskan konten sensasional, jurnalisme berbasis fakta sering kalah bersaing dengan narasi yang memicu emosi. Media pers dituntut untuk lebih proaktif dalam verifikasi fakta dan edukasi literasi media kepada publik.
Ketiga, tekanan politik dan regulasi menjadi tantangan serius. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, media menghadapi risiko pembatasan kebebasan pers melalui undang-undang atau tekanan dari pihak berkuasa. Kasus-kasus seperti penutupan media tertentu atau ancaman terhadap jurnalis menjadi pengingat bahwa independensi pers tidak boleh dianggap remeh.
Keempat, perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) membawa peluang sekaligus ancaman. AI dapat membantu otomatisasi penulisan berita sederhana atau analisis data, tetapi juga memicu kekhawatiran tentang hilangnya sentuhan manusiawi dalam jurnalisme dan potensi penyalahgunaan untuk menciptakan deepfake atau konten manipulatif.
Untuk bertahan, media pers perlu merangkul inovasi tanpa mengorbankan prinsip jurnalistik. Kolaborasi dengan platform teknologi, pengembangan model bisnis baru seperti crowfunding atau keanggotaan, serta investasi dalam pelatihan jurnalis untuk menguasai teknologi digital menjadi langkah strategis. Selain itu, media harus memperkuat peran sebagai penjaga demokrasi dengan tetap kritis, independen, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Refleksi atas perjalanan media pers mengingatkan bahwa tantangan bukanlah akhir, melainkan awal dari reinvensi. Di tengah badai perubahan, media yang adaptif, inovatif, dan berintegritas akan tetap menjadi pilar informasi dan demokrasi di masa mendatang.