KENDARI__SIMPULINDONESIA.COM,—Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Kendari akhirnya angkat bicara terkait kasus dugaan pencabulan yang menyeret seorang guru SDN 2 Kendari, Mansur B alias Maman. Jumat (05/12/2025).
Jaksa menegaskan bahwa perkara ini telah memiliki bukti kuat, termasuk rekaman suara dan hasil pemeriksaan psikologis, yang menguatkan dugaan adanya tindak kekerasan seksual terhadap seorang murid berusia 9 tahun.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Kendari, Aguslan, S.H., M.H., memaparkan secara terang kronologi dugaan pencabulan yang dilakukan terdakwa sejak Agustus 2024 hingga Januari 2025.
Menurutnya, rentetan kejadian menunjukkan tindakan berulang dan dilakukan secara sadar oleh terdakwa di lingkungan sekolah.
Dituduh Menahan Korban dan Berupaya Mencium Secara Paksa
Insiden puncak terjadi pada 8 Januari 2025, sekitar pukul 07.00 WITA saat apel pagi akan dimulai. Korban yang hendak keluar kelas tiba-tiba ditahan oleh terdakwa dan dilarang mengikuti apel pagi, sementara siswa lain diperbolehkan keluar.
Dua teman korban yang berusaha menemani justru diusir oleh terdakwa. Korban kemudian disuruh duduk di posisi tersembunyi di dalam kelas.
“Terdakwa duduk rapat di samping korban, memegang pipi korban dengan kuat sehingga tidak bisa bergerak, lalu berupaya mencium bibir korban,” jelas Aguslan.
Korban yang ketakutan berhasil menghindar dan segera mengirim voice note kepada ibunya:
“Mama tolong saya, pak guru mau cium saya tolong cepat datang.”
Ibu korban yang tiba di sekolah menemukan anaknya dalam kondisi sangat ketakutan.
Rentetan Pelecehan Sejak 2024: Merangkul, Mengelus, Mencium, hingga Memberi Uang
Dalam penyelidikan terungkap bahwa tindakan serupa telah berulang sejak Agustus 2024. Terdakwa diduga: merangkul dan mengelus pinggang korban, memegang dan mengelus tangan korban cukup lama, mencium pipi dan jidat korban, memberi uang setiap hari dan marah bila ditolak.
Perlakuan khusus itu hanya diberikan kepada korban, bukan kepada siswa lain. Kondisi tersebut membuat korban merasa risih, takut, dan tertekan.
Psikolog: Korban Alami Acute Stress Disorder (ASD)
Hasil pemeriksaan psikologis pada 10 Januari 2025 menunjukkan korban mengalami: intrusi (kilas balik), penghindaran, gejala disosiatif, hiperwaspada, perubahan emosional signifikan.
Korban resmi didiagnosis mengalami Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder) akibat peristiwa traumatis itu.
Pekerja sosial Kementerian Sosial juga menguatkan temuan adanya gangguan psikososial sehingga korban bahkan terpaksa pindah sekolah.
Proses Hukum: Jaksa Tuntut 6 Tahun Penjara, Pengadilan Putus 5 Tahun
Pada 4 Agustus 2025, sidang pertama digelar di Pengadilan Negeri Kendari. Jaksa mendakwa terdakwa dengan empat pasal, termasuk Pasal 82 UU Perlindungan Anak dan pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pada 11 November 2025, Jaksa Penuntut Umum menuntut: 6 tahun penjara, denda Rp1 miliar, barang bukti dikembalikan ke orang tua korban.
Namun dalam putusan 1 Desember 2025, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara,denda Rp1 miliar, subsider 3 bulan, terdakwa tetap ditahan. Baik terdakwa maupun Jaksa kemudian menyatakan banding.
Kejaksaan: Tidak Ada Rekayasa, Korban Butuh Perlindungan
Aguslan menegaskan bahwa proses hukum berjalan berdasarkan bukti objektif, bukan tekanan pihak mana pun.
“Tidak ada motif rekayasa dari pihak korban. Aparat Penegak Hukum murni menegakkan hukum untuk melindungi anak yang mengalami trauma. Proses ini penting agar kejadian seperti ini tidak terulang di Kota Kendari,” tegas Aguslan.



