Bukan hanya soal tambang rakyat, melainkan juga menyangkut nama besar seorang politisi nasional: Rudianto Tjen, Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Daerah Pemilihan Bangka Belitung (Dapil Babel) Senin (8/9/2025).
Dialog yang semula berjalan formal, mendadak berubah seketika menjadi panas, saat M Zen, orator utama sekaligus Ketua DPD LSM Topan-RI Babel, menantang Anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung Fraksi PDI Perjuangan yang diwakili Me Hoa.
Dengan lantang, ia mendesak agar DPRD mengeluarkan surat rekomendasi resmi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung RI untuk menyelidiki dugaan manipulasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang melibatkan Rudianto Tjen.
“Kalau memang beliau bersih, kenapa harus takut? Kami minta sikap politik dari fraksi ibu. Buat rekomendasi agar KPK dan Kajagung turun tangan. Ini menyangkut marwah wakil rakyat Babel di mata nasional,” tegas M Zen dengan suara lantang.
Namun, tantangan itu segera ditampik oleh Me Hoa dengan nada menahan emosinya. Menurutnya bahwa permintaan itu di luar kewenangan legislatif daerah.
“Itu ranah lembaga yudikatif, bukan kewenangan DPRD Babel. Kami tidak bisa membuat rekomendasi semacam itu,” tegas Me Hoa menjawab keinginan M. Zen.
Mendengar jawaban dari Me Hua tersebut, langsung memantik reaksi keras dari M Zen. Ia menilai respons Me Hoa tidak mencerminkan sikap tenang seorang wakil rakyat.
Bahkan, Zen menyentil Me Hoa sendiri yang dalam berbagai kesempatan kerap mengklaim Rudianto Tjen sebagai sosok “Malaikat Politik.”
“Di media ibu sering menyebut Rudianto Tjen sebagai malaikat. Kalau malaikat, berarti tidak pernah salah. Tapi ketika kami minta klarifikasi, ibu malah berang. Padahal yang kami inginkan sederhana: apa sikap Fraksi PDI Perjuangan terkait dugaan yang menyeret nama Rudianto Tjen,” sergah M Zen.
Suasana ruangan kian memanas. Beberapa peserta pertemuan menilai pernyataan M Zen terlalu tajam, sementara sebagian lain menilai sikap Me Hoa justru menunjukkan ketidaksiapan menghadapi kritik publik.
Rudianto Tjen di Pusat Pusaran
Nama Rudianto Tjen menjadi puncak perhatian. Menurut catatan resmi LHKPN, kekayaan Rudianto hanya sekitar Rp141 miliar.
Namun, ALMASTER mengklaim hasil investigasi masyarakat sipil menemukan indikasi aset tersembunyi mencapai Rp3 triliun.
Aset itu disebut-sebut meliputi:
• Sekitar 20.000 hektar kebun sawit di Bangka Belitung
• Dua pabrik kelapa sawit (PKS)
• Dua kapal isap produksi timah (KIP Bintang Samudera)
• Vila dan lahan luas di Kampung Jeruk, Bangka Tengah
• Serta sebuah hotel mewah di Belitung
“Kalau laporan hanya Rp141 miliar, tapi faktanya ada sawit, PKS, KIP, hingga hotel, berarti ada yang ditutupi. Ini bisa masuk kategori false report, bahkan tindak pidana korupsi,” tegas M Zen, menambah tekanan.
Me Hoa Terpojok, Publik Menyimak
Bagi sebagian pengamat politik Babel, sikap defensif Me Hoa justru menambah spekulasi publik. Saat diserang dengan tuduhan “emosional”, Me Hoa sempat menjawab dengan nada meninggi, meski tidak sepenuhnya merinci bantahannya.
“Ya bla bla bla…,” demikian potongan jawaban Me Hoa yang ditirukan kembali oleh M Zen dalam wawancara usai pertemuan. “Jawaban itu tidak memberi kejelasan. Rakyat ingin sikap politik, bukan alasan normatif,” ujarnya lagi.
Dalam pertemuan itu, tampak jelas jurang antara aspirasi rakyat yang diwakili ALMASTER dan kehati-hatian legislatif. ALMASTER ingin sikap tegas, sementara Me Hoa berpegang pada batas formal kewenangan DPRD.
Isu Tambang: Nafas Baru untuk Rakyat
Selain LHKPN, isu lain yang tak kalah panas adalah soal penambangan timah rakyat. M Natsir, salah satu orator ALMASTER, menyampaikan hasil diskusi dengan pimpinan DPRD Babel yang dianggap memberi lampu hijau kepada masyarakat untuk menambang timah dengan syarat tertentu.
“Mulai besok, masyarakat boleh menambang, asal hasilnya dijual ke PT Timah dan tidak di kawasan terlarang seperti fasum, hutan lindung, atau area yang dilarang undang-undang,” tegasnya.
Ia bahkan menegaskan siap bertanggung jawab jika kebijakan itu dipersoalkan. “Kalau mau ditangkap, biar saya saja yang dihukum. Ikak begawi lah, jangan sampai jadi beban negara. Karena guru pun jadi beban negara, apalagi ikak yang dak begawi,” pungkasnya dalam bahasa daerah, disambut tepuk tangan meriah.
Pertarungan Narasi: Antara Transparansi dan Kekuasaan
Aksi ALMASTER hari itu memperlihatkan dua wajah politik Babel: wajah rakyat yang haus transparansi, dan wajah politisi yang cenderung defensif ketika disorot.
M Zen tampil agresif, menembakkan tudingan langsung ke jantung partai berkuasa. Me Hoa, di sisi lain, mencoba meredam, namun justru terseret dalam pusaran emosional.
Bagi publik, pertanyaannya sederhana: apakah benar ada manipulasi kekayaan pejabat negara yang selama ini lolos dari sorotan aparat hukum? Dan jika benar, mengapa DPRD seolah enggan berdiri di barisan rakyat untuk mendesak kejelasan ?
Ketegangan di ruang Banmus DPRD Babel hanyalah potongan kecil dari drama besar politik nasional. Tapi dari Babel, suara lantang ALMASTER bisa saja menggema hingga Senayan dan KPK.
“Kalau suara rakyat diabaikan, jangan salahkan jika kepercayaan publik terhadap wakilnya semakin terkikis,” tandas M Zen menutup pernyataannya. (Aimy)
Sumber : KBO Babel.