Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Dari Jalanan Bulukumba: Lima Tuntutan Koalisi 1 September untuk Keadilan Rakyat

Selasa, 02 September 2025 | 12.17 WIB Last Updated 2025-09-02T05:17:39Z


SIMPULINDONESIA.com_
BULUKUMBA,- 1 September 2025 –
Jalanan Bulukumba menjadi saksi dari sebuah gelombang besar perlawanan moral yang lahir dari keresahan rakyat. Di bawah terik matahari, suara lantang menggema dari Koalisi 1 September—sebuah gerakan lintas organisasi yang mengikat simpul persatuan antara mahasiswa, pemuda, aktivis masyarakat sipil, hingga para kurir ojek online yang ikut mengisi barisan perlawanan.

Koalisi ini bukan lahir dalam ruang hampa. Ia muncul dari luka kolektif, dari ketidakadilan yang terus dipelihara oleh negara, dan dari rasa muak rakyat terhadap arogansi elite. Dua isu besar menjadi pemicu kobaran amarah: pertama, tuntutan reformasi kepolisian sekaligus pengusutan tuntas tragedi yang merenggut nyawa Affan Kurniawan—seorang kurir ojek online yang meregang nyawa akibat tindakan represif aparat dalam aksi sebelumnya. Kedua, penolakan keras terhadap kenaikan tunjangan DPR, yang di mata rakyat merupakan simbol pengkhianatan politik dan moral para wakil yang seharusnya berpihak kepada mereka.

Dalam orasi pembuka, Ahmad Mursyid selaku Jenderal Lapangan menegaskan bahwa aksi ini bukan hanya soal perbedaan profesi atau latar belakang, melainkan soal kesamaan nasib. 

“Koalisi 1 September bukan sekadar aksi mahasiswa, melainkan suara bersama dari rakyat yang muak ditindas. Dari pemuda hingga para kurir ojek online, semua hadir menyuarakan hal yang sama: hentikan kekerasan aparat dan batalkan kenaikan tunjangan DPR. Kasus Affan Kurniawan adalah bukti nyata betapa nyawa rakyat diperlakukan murah oleh negara. Reformasi kepolisian adalah harga mati!” serunya lantang, disambut gemuruh tepuk tangan dan yel-yel massa.

Sementara itu, Renaldi Amir, Ketua Cabang PMII Bulukumba, menegaskan bahwa DPR kini telah kehilangan legitimasi moral. Menurutnya, kenaikan tunjangan bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan cermin dari betapa jauhnya jarak antara Monarki dari denyut kehidupan sehari-hari rakyat kecil. 

“Koalisi 1 September lahir dari kemarahan kolektif. Ketika rakyat susah mencari pekerjaan dan harga kebutuhan pokok melambung, DPR justru sibuk mempertebal fasilitas diri, mereka seringkali menempatkan kepentingan kelompok elit mereka diatas kepentingan rakyat. Itu bukan hanya tidak etis, tapi pengkhianatan politik terhadap rakyat. Kami tegaskan: tunjangan bukan hak istimewa, melainkan beban moral yang menuntut kesederhanaan dan tanggung jawab,” ujarnya tegas, sambil mengepalkan tangan ke udara.

Di tengah lautan manusia, terlihat jelas semangat solidaritas yang melampaui sekat-sekat sosial. Para kurir ojek online hadir tidak hanya sebagai pendukung, tetapi juga sebagai saksi sekaligus korban nyata dari praktik represif aparat. Mereka berorasi dengan suara yang bergetar, menuntut keadilan untuk Affan Kurniawan, kawan seperjuangan yang tewas tragis. Tangisan dan pekikan mereka menjadi pengingat bahwa di balik setiap angka korban, ada keluarga yang kehilangan, ada masa depan yang dirampas, dan ada luka yang terus membekas.

Koalisi 1 September kemudian merumuskan Lima Tuntutan Besar yang mereka suarakan di sepanjang jalanan Bulukumba:

1. Mengesahkan UU Perampasan Aset – sebagai upaya serius memberantas korupsi yang mengakar.

2. Menolak Kenaikan Pajak di Beberapa Daerah – yang hanya menambah beban rakyat kecil.

3. Menolak Kenaikan Tunjangan DPR – sebagai simbol penolakan terhadap politik elitis yang rakus.

4. Mengadili Pelaku Penabrakan Affan Kurniawan – sebagai bentuk keadilan bagi korban kekerasan aparat.

5. Membebaskan Seluruh Aktivis yang Ditahan – karena perlawanan bukanlah kejahatan, melainkan hak demokratis warga negara.

Aksi yang diikuti ratusan massa ini berlangsung dalam suasana penuh semangat. Poster-poster, spanduk, hingga mural spontan menghiasi jalanan dengan kalimat-kalimat perlawanan: “Hidup Rakyat, Lawan Represi!”, “Nyawa Rakyat Tidak Murah!”, dan “Batalkan Tunjangan DPR!”. Suara orasi berpadu dengan teriakan yel-yel, membentuk harmoni perlawanan yang mengguncang jantung kota.

Lebih dari sekadar demonstrasi, Koalisi 1 September adalah pernyataan politik rakyat. Ia adalah bentuk tandingan terhadap narasi kekuasaan yang sering menutup mata dari penderitaan rakyat. Kehadirannya menegaskan bahwa negara ini tidak bisa terus-menerus dijalankan dengan meminggirkan suara rakyat, sebab rakyatlah pemilik sah kedaulatan.

Di akhir aksi, Renaldi menutup dengan kalimat yang menggugah hati:
“Kami, Koalisi 1 September, tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan. Setiap luka rakyat adalah luka bangsa, dan kami akan terus menjaga agar suara itu tidak padam. Ingatlah, negara ini milik rakyat, bukan milik segelintir elite yang memperdagangkan kekuasaan di atas penderitaan mereka.”

Dengan demikian, Koalisi 1 September menjadi penanda bahwa gelombang perlawanan rakyat tidak pernah benar-benar padam. Ia hanya menunggu momentum untuk kembali meletup, membawa pesan sederhana namun mendalam: keadilan bukan pemberian, melainkan hak yang harus diperjuangkan bersama.(Wahyu)
×
Berita Terbaru Update