OPINI
Oleh : Achmad Ferdy Firmansyah
SIMPULINDONESIA.com_ PANGKALPINANG,_ Secangkir kopi hangat dan kue pagi ini ternyata tak biasanya terasa nikmat ketika birahi untuk ingin berkuasa terus di gaungkan oleh mantan Walikota Pangkalpinang dengan narasi seolah-olah "Pangkalpinang (PGK) Kota Beribu Senyuman "
Tidak boleh berganti Singkatan (Pkp) atau kembali menjadi "Kota Berarti " Pangkalpinang sebagai Kota "Pangkal Kemenangan".
Artikulasi serta makna tersirat dari Kota Berarti sebagai kota "Pangkal Kemenangan " sejati nya sudah tertanam secara turun temurun disanubari mayoritas masyarakat yang hidup di kota Pangkalpinang
Oleh dari pada itu, ketika upaya kepala daerah ingin merubah artikulasi dan makna dari kota Pangkalpinang sebelumnya merasakan pukulan telak yang tak terlihat dengan kasat mata, meskipun berdiri sendiri di atas ring pada kontestasi pilkada kemarin.
Hak memilih dan di pilih memang melekat di setiap warga negara dalam konteks negara yang menjunjung tinggi Demokrasi. Namun, Hak untuk dipilih pun tidak layak di perjuangkan jika "Alam tidak berkehendak" atau mayoritas (50 + 1) sudah tidak merestui nya.
Seperti hangatnya secangkir kopi yang di seruput penulis begitu pula masih hangatnya peristiwa kemenangan kotak kosong yang merepresentasikan dominasi masyarakat terhadap " Incumbent" yang berhasil menyingkirkan arogansi keserakahan " Calon Tunggal"
Juga termasuk para peserta Elit Partai Politik yang mempertontonkan transaksional politik "Dagang Sapi" untuk keuntungan segelintir orangn sehingga mengabaikan harapan orang banyak saat itu dalam menghadirkan beberapa calon kepala daerah yang ideal sesuai selera masyarakat.
Konstitusi jelas mengatur bahwa pemenang pada kontestasi Pilkada akan menduduki posisi sebagai Kepala Daerah tetapi esensi dari "Kepala Daerah" itu merupakan akumulasi darih mayoritas kepercayaan publik yang di tunjukkan melalui pencoblosan.
Andai kata penulis dalam kondisi sudah tidak mendapatkan dari kepercayaan publik secara mayoritas pada saat menjadi " Calon Tunggal" pada kontestasi kemarin , secara manusiawi yang berakal sehat pasti akan mencari Hikmah di balik peristiwa tersebut dan menahan diri dari nafsu kekuasaan.
Masyarakat awam bisa membedakan antara gagal/Ä·alah itu adalah Kemenangan atau "Kesuksesan Yang Tertunda" apabila ada kompetitor dalam berkontestasi seperti Presiden RI Prabowo Subianto yang pernah kalah 3 kali atau Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Hidayat Arsani yang pernah kalah sebelumnya.
Sedangkan Calon Tunggal yang kalah tanpa kompetitor itu bukan lah sebuah "Kemenangan yang tertunda " namun sebuah hukuman dari Alam dan penduduknya. Karena, Birahi kekuasaan sudah bisa dirasakan bagi masyarakat yang memiliki akal sehat dan nurani yang tercerah kan dalam menentukan pilihan Kepala Daerah yang berintegritas dan berkualitas demi menuju kesejahteraan hidup masyarakat yang adil dan makmur .
Titik Nol Kilometer Pangkalpinang sejati nya menjadi domain harapan dan cita - cita masyarakat menghadirkan Sosok Kepala Daerah yang Baik dan Bersih. Bukan dijadikan ajang atau tempat dalam mempertontonkan nafsu birahi akan haus kekuasaan.
Karena historikal Kota Pangkalpinang itu menjadi " Titik Nol " Pangkal kemenangan Diplomasi di perjanjian Roem - Royen dan Konferensi Meja Bundar dari para pendiri Bangsa melawan kolonial (penjajahan) yang haus akan kekuasaan dalam merampas sumber kekayaan masyarakat setempat. (Aimy).