NASIONAL__SIMPULINDONESIA.COM,— Tanggal 2 Januari 2026 menandai berakhirnya penggunaan hukum pidana warisan kolonial di Indonesia. Pada hari itu, KUHP dan KUHAP Nasional resmi berlaku, menghadirkan harapan baru bagi kedaulatan hukum pidana bangsa.
Namun euforia tersebut segera terbentur kenyataan. KUHAP Nasional hadir mendahului kesiapan peraturan pelaksana yang menjadi penopang operasionalnya. Lantas bagaimana menegakkan hukum acara pidana ketika sebagianinstrumen teknis yang dibutuhkan untukmenjalankannya belum tersedia?
KUHP Siap Namun KUHAP Tergesa
KUHP Nasional diundangkan pada 2 Januari 2023, tetapibaru berlaku 2 Januari 2026. Sehingga terdapat masa transisi 3 tahun sebagai ruang sosialisasi dan persiapan adaptasi aparat penegak hukum. Waktu tersebut terbilangcukup panjang dan memang diperlukan mengingat transformasi besar yang dibawa KUHP Nasional.
Berbeda halnya dengan KUHAP Nasional yang baru diundangkan pada 17 Desember 2025 dan berlaku pada 2 Januari 2026. Hanya berselang 15 hari. Akibatnya, ruang sosialisasi untuk instrumen prosedural yang sangat teknisini menjadi amat sempit. Padahal, hukum acara adalah “mesin penggerak” hukum pidana. Tanpa pemahaman dan pedoman yang memadai, keberlakuan KUHAP Nasional pun berisiko berjalan timpang.
Butuh Puluhan Peraturan Pelaksana
Hasil pembacaan terhadap KUHAP Nasional menunjukkan bahwa banyak ketentuannya yang bersifatNon-Self-Executing sehingga membutuhkan peraturan pelaksana berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) untuk memberi rincian operasional. PP inilah yang menjadi jembatan antara norma abstrak dan praktik nyata di lapangan.
Setidaknya, terdapat 23 bidang peraturan yang membutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) baru, antaralain:
1) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian PenyidikPembantu
2) Teknis Penyelidikan
3) Penggunaan rekaman kamera pengawas
4) Teknis Penyidikan
5) Koordinasi Penyidik dan Penuntut Umum
6) Pelaksanaan Denda Damai
7) Pelaksanaan Keadilan Restoratif
8) Persyaratan Penangguhan Penahanan
9) Tata cara dan Pengawasan Pembantaran
10) Nilai benda sitaan
11) Pengelolaan dan penyimpanan benda sitaan
12) Tata cara pencegahan keluar negeri
13) Pelayanan Penyandang Disabilitas
14) Teknis pelaksanaan pidana-tindakan terhadappelakunya merupakan penyandang disabilitas
15) Pembayaran ganti rugi, rehabilitasi
16) Restitusi dan kompensasi
17) Perdamaian Terdakwa dan Korban
18) Pengakuan Terdakwa
19) Penyampaian Keterangan Saksi melalui Audiovisual
20) Perangkat kelengkapan persidangan
21) Teknis pertanggungjawaban korporasi
22) Teknis pengenaan pidana tambahan terhadapkorporasi
23) Teknis eksekusi pidana denda
Meskipun Pasal 365 KUHAP Nasional menyatakan PP lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan, hasil penelitian saya menunjukkan bahwa hanya ada 8 PP yang masih relevan dipergunakan, yaitu:
1) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian PenyidikPembantu dengan PP 27/1983 jo PP 58/2010 jo PP 92/2015
2) Teknis Penyidikan dengan PP 43/2012
3) Persyaratan Penangguhan Penahanan dengan PP 27/1983
4) Pengelolaan dan penyimpanan benda sitaan denganPP 27/1983
5) Pelayanan Penyandang Disabilitas dengan PP 39/2020
6) Pembayaran ganti rugi dengan PP 27/1983 jo PP 58/2010 jo PP 92/2015
7) Restitusi dan kompensasi PP 7/2018 jo PP 35/2020
8) Perangkat kelengkapan persidangan dengan PP 27/1983
Diluar dari itu, memang terdapat beberapa PP yang mengatur tentang nilai benda sitaan, hanya saja PP itu berlaku untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaituPP 105/2021. Begitu pun PP mengenai pencegahankeluar negeri melalui PP 31/2013 tetapi menjadi peraturan turunan dari UU 6/2011 tentang Keimigrasian. Kedua PP tersebut tidak relevan untuk dijadikan peraturan pelaksana KUHAP Nasional, sebab keduanya dibentuk berdasarkan mandat undang-undang lain dan mengatur konteks kelembagaan serta kewenangan yang tidak termasuk kedalam ruang lingkup pengaturan KUHAP.
Selain itu, sebagian pedoman pelaksanaan justru masih mengandalkan peraturan internal lembaga, seperti:
1) Tata cara dan Pengawasan Pembantaran denganSEMA 1/1989
2) Rehabilitasi dengan SEMA 4/2010 ttg Penyalahgunaan Narkotika
3) Perdamaian Terdakwa dan Korban dengan Perma1/2024, Perja 15/2020 dan Perpol 8/2021
4) Teknis pertanggungjawaban korporasi dengan Perma 13/2016
5) Teknis pengenaan pidana tambahan terhadap korporasi dengan Perma 13/2016
Ketergantungan pada instrumen internal lembaga tersebut tidak sejalan dengan mandat normatif KUHAP Nasional, yang secara eksplisit menegaskan bahwa pengaturan lebih lanjut harus dituangkan dalam peraturan pelaksana berbentuk Peraturan Pemerintah (PP). Dengan demikian, penggunaan SEMA, Perma, Perja, atau Perpol sebagai rujukan utama bukan hanya tidak kompatibel dengan struktur delegasi yang diperintahkan KUHAP Nasional, tetapi juga berpotensi mempertahankan ketidakseragaman prosedural dan melemahkan tujuan pembentukan standar operasional yang bersifat nasional.
Idealitas Pelaksanaan
Idealnya, setiap undang-undang yang diundangkan telah dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, sehingga ketika undang-undang tersebut mulai berlaku, norma pelaksanaannya juga siap diberlakukan secara bersamaan. Hans Nawiasky menegaskan bahwa Vorordnung (Peraturan Pemerintah) merupakan bagian integral dari operasionalisasi Formell Gesetz (undang-undang). Tanpa keberadaan aturan pelaksana, norma induk berpotensi mengalami cacat operasional karena kehilangan daya implementatifnya. Senada dengan itu, Maria Farida Indrati menyatakan bahwa peraturan pelaksana tidak boleh dibiarkan absen ketika undang-undang sudah berlaku, sebab ketiadaannya akan menghambat operasionalisasi materi muatan undang-undang.
Berangkat dari pandangan tersebut, dapat ditegaskan bahwa keberadaan peraturan pelaksana seharusnya dipersiapkan secara paralel dengan proses legislasi undang-undang. Dengan demikian, penerbitan aturan pelaksana setelah undang-undang berlaku bukanlah pilihan yang ideal, karena berpotensi menimbulkan kekosongan operasional (vacuum of execution) dan ketidakpastian penerapan norma. Oleh karena itu, sejaksuatu Rancangan Undang-Undang memperoleh persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, proses penyusunan peraturan pelaksananya perlu segera dimulai, sehingga ketika undang-undang tersebut dinyatakan berlaku, norma pelaksananya juga telah siap digunakan.
Dalam kerangka tersebut, keberadaan jeda waktu sebelum suatu undang-undang berlaku menjadi sangat penting. Masa jeda tersebut bukan sekadar transisi administratif, melainkan ruang untuk merampungkan peraturan pelaksana agar undang-undang tidak berhenti pada tataran deklaratif, melainkan benar-benar dapat berfungsi sebagai norma operasional. Dengan kata lain, undang-undang yang diundangkan tanpa kesiapan peraturan pelaksana berpotensi kehilangan efektivitas normatifnya dan membuka ruang bagi penggunaan diskresi yang berlebihan dalam praktik. Situasi ini semakin krusial dalam konteks Hukum Acara Pidana, karena tanpa peraturan pelaksana, kewenangan prosedural dalam penegakan hukum berisiko dijalankan tanpa batas yang jelas.
Tradisi Legislasi yang Terus Berulang
Jika mencermati KUHAP Nasional, Pasal 366 memberiwaktu 1 tahun untuk pembentukan seluruh peraturan pelaksana. Ketentuan ini bukan fenomena baru dalam praktik legislasi Indonesia. Peraturan pelaksana hampir selalu dibuat setelah undang-undang induknya diundangkan. Misalnya saja, saat berlakunya UU Perlindungan Data Pribadi tahun 2022, peraturan pelaksananya belum lengkap bahkan sampai 2025. Begitupun UU Cipta Kerja yang berlaku tahun 2020, peraturan pelaksananya baru terbit tahun 2021.
Praktek mendahulukan peraturan induk daripada peraturan pelaksana dalam proses legislasi di Indonesia kian berulang. Padahal, dalam konteks hukum acara pidana, ketidakhadiran pedoman berarti ruang penafsiran melebar, dan itu mengguncang kepastian hukum.
Konsekuensi Praktek
Ketidaksiapan peraturan pelaksana pada saat KUHAP Nasional mulai berlaku menimbulkan konsekuensi langsung dalam praktik penegakan hukum. Norma yang bersifat Non-Self-Executing tidak dapat dijalankan tanpa pedoman teknis, sehingga aparat berpotensi mengandalkan penafsiran masing-masing. Kondisi inimembuka ruang bagi ketidakseragaman prosedur antar wilayah dan antarinstansi, yang pada akhirnya mengancam prinsip kepastian dan kesetaraan di hadapan hukum.
Kekosongan pelaksana juga berpeluang mendorong hakim, jaksa, maupun penyidik untuk mengisi celah melalui praktik internal atau kebijakan ad hoc. Meski dimaksudkan menjaga proses peradilan tetap berjalan, pendekatan tersebut dapat melahirkan disparitas dan menyulitkan koreksi normatif di kemudian hari. Hukum acara pidana yang seharusnya memberikan prediktabilitas justru dapat berubah menjadi arena improvisasi.
Selain itu, penggunaan peraturan lama sebagai rujukan sementara tidak selalu kompatibel dengan paradigma KUHAP Nasional, sehingga menimbulkan dilema antara menerapkan aturan baru tanpa petunjuk, atau bertahan pada aturan lama yang tidak sepenuhnya relevan. Dalam situasi demikian, hak-hak tersangka dan terdakwa berpotensi terpengaruh, terutama pada mekanisme yang baru diperkenalkan seperti plea bargain (pengakuanbersalah), deferred prosecution agreement(perjanjianpenundaan penuntutan) dan keadilan restoratif.
Dengan demikian, tanpa kesiapan peraturan pelaksana, KUHAP Nasional berisiko hanya berlaku secara formal, tetapi belum efektif dalam praktik.
Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.
Penulis merupakan Alumnus FH UGM



