Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Nuklir dalam Skema Transisi Energi di Indonesia

Isnin, 3 November 2025 | 5:26 PTG WIB Last Updated 2025-11-03T10:26:43Z

Opini

SIMPULINDONESIA.com_ BOGOR,- Transisi energi adalah perjalanan panjang, bukan perlombaan singkat. Kita sering mendengarnya sebagai simbol perubahan menuju masa depan yang lebih hijau, lebih bersih, dan lebih berkelanjutan. Namun di tengah semangat besar itu, ada satu hal yang kerap terlupakan bahwa energi bukan hanya soal moral dan idealisme, melainkan juga keputusan ekonomi yang menuntut rasionalitas.

Hingga saatini, Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Sebagai gambaran, pada tahun 2023 total listrik yang dihasilkan mencapai sekitar 382,8 TWh, dan kira-kira 82 % dari pembangkitan listrik berasal dari bahan bakar fosil, di mana batu bara saja menyumbang lebih dari 64 %. Sementara itu, kapasitas pembangkit energi terbarukan yang terpasang hingga tahun 2023 baru sekitar 13,3 GW dari total kapasitas sekitar 70,8 GW, artinya porsi energi terbarukan masih di bawah 20 %.

Di sisi lain, realisasi bauran energi terbarukan dalam energi primer maupun dalam pembangkit listrik juga menunjukkan perlambatan. Misalnya, pada tahun 2023 realisasi bauran energi terbarukan (new & renewable energy) dalam energi primer dilaporkan sekitar 13,1 % meskipun target yang ditetapkan pemerintah untuk 2025 adalah sekitar 23 %. Dengan kata lain, meskipun potensi Indonesia sangat besar, mulai dari panas bumi, hidro, biomassa hingga surya, tapi integrasi dan realisasinya masih tertinggal.

Meski demikian, arah kebijakan menunjukkan komitmen ke depan yang lebih ambisius. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan bahwa pada tahun 2060 target pasokan listrik dari energi bersih (clean energy) akan mencapai sekitar 73,6 %, dan sisanya (26,4 %) berasal dari bahan bakar fosil yang dilengkapi dengan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS). 

Untuk periode 2025-2034, rencana pembangunan kapasitas listrik nasional, yaitu tambahan sekitar 69,5 GW, menunjukkan bahwa sekitar 76 % dari kapasitas baru itu akan berasal dari energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi (storage).

Realitas Energi yang Tak Sederhana
Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil. Hingga tahun 2023, sekitar delapan puluh satu persen listrik nasional masih dihasilkan dari energi fosil, dengan batu bara menyumbang lebih dari enam puluh persen. Di sisi lain, kontribusi energi terbarukan baru sekitar lima belas persen dari total kapasitas nasional. 

Angka-angka ini menunjukkan bahwa transisi energi kita baru pada tahap awal. Pembangunan energi bersih tidak bisa dilakukan hanya dengan semangat, tetapi juga dengan perhitungan. Panel surya dan turbin angin, misalnya, tetap menghadapi tantangan besar dalam hal kestabilan pasokan. 

Ketika matahari tertutup awan atau angin berhenti bertiup, sistem kelistrikan perlu sumber daya lain yang bisa menjaga kestabilan daya secara terus-menerus.
Dalam kerangka KEN 2025 yang disahkan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025, Indonesia menetapkan peta jalan transisi energi hingga 2060 dengan sejumlah sasaran kuantitatif yang baru. 

Dokumen ini menetapkan bahwa bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam energi primer nasional akan ditingkatkan, misalnya menuju kisaran 19-23% pada 2030, kemudian naik menjadi 36-40% pada 2040, 53-55% pada 2050 dan akhirnya mencapai 70-72% pada 2060.

Di sisi lain, KEN 2025 memasukkan nuklir sebagai salah satu opsi dalam mix energi: disebutkan bahwa teknologi nuklir akan mulai hadir dalam bauran energi jangka panjang sebagai bagian dari diversifikasi yang lebih luas. Dengan demikian, dari sudut kebijakan nasional, transisi energi bukan sekadar memperbanyak EBT yang “lug-free”, tetapi juga memperkuat kerangka dasar ketahanan energi melalui pilihan yang realistis, termasuk nuklir, agar sistem tidak rapuh terhadap intermitensi maupun fluktuasi pasokan.

Mencari Rasionalitas di Tengah Euforia Hijau Energi bersih sering kali diposisikan sebagai cita-cita moral, sesuatu yang harus dikejar demi masa depan bumi. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun dalam praktiknya, setiap bentuk energi memiliki biaya, risiko, dan keterbatasan. Negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan solusi yang bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga realistis secara ekonomi dan teknis. 

Transisi energi yang efektif memerlukan keseimbangan antara keberlanjutan dan ketahanan. Di sinilah energi nuklir mulai kembali dibicarakan, bukan sebagai pesaing bagi energi terbarukan, tetapi sebagai pelengkap strategis.

Energi nuklir tidak bergantung pada cuaca, tidak menimbulkan emisi karbon, dan mampu menyediakan listrik dalam skala besar secara stabil. Banyak negara yang sebelumnya menutup reaktor kini kembali mempertimbangkannya. Jepang, Prancis, dan Korea Selatan telah menegaskan kembali peran nuklir dalam menjaga keamanan energi. Bahkan, negara-negara Eropa yang sempat ragu kini menyadari pentingnya diversifikasi sumber daya.

Kemudian, dalam praktiknya lewat RUPTL 2025-2034 yang disusun oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sejalan dengan KEN dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), terlihat skenario kapasitas pembangkit yang ambisius: penambahan sekitar 69,5 GW hingga tahun 2034 dengan komposisi di mana sekitar 42,6 GW berasal dari EBT dan 10,3 GW dari storage (sistem penyimpanan). 

Dalam dokumen tersebut, secara eksplisit juga dicantumkan rencana pembangunan PLTN dengan kapasitas 0,5 GW (500 MW), masing-masing 250 MW di Sumatera-Bangka pada 2032 dan di Kalimantan Barat pada 2033 sebagai bagian dari tambahan pembangkit listrik. 

Beleid ini menandakan bahwa nuklir mulai dilihat bukan hanya sebagai wacana, tetapi sebagai bagian dari portofolio transisi energi nasional, meskipun porsinya masih sangat kecil dalam jangka menengah.
Peran nuklir dalam skenario transisi ini memiliki beberapa fungsi strategis, yang menjembatani antara idealisme energi hijau dan realitas teknis-ekonomi ketenagalistrikan Indonesia. 

Pertama, sebagai pembangkit beban dasar yang stabil: karena sumber EBT seperti surya atau angin bersifat intermiten, keberadaan pembangkit nuklir dapat membantu menjaga keandalan sistem di saat pasokan EBT menurun. 

Kedua, sebagai salah satu pilar diversifikasi: penggunaan nuklir membantu mengurangi ketergantungan tunggal pada satu jenis energi atau pada bahan bakar fosil saja. Ketiga, secara jangka panjang dukungan terhadap target dekarbonisasi nasional: meskipun investasi awal tinggi dan diperlukan regulasi serta kesiapan teknologi, nuklir masuk sebagai salah satu sarana untuk mencapai net zero emission hingga sekitar 2060. 

Langkah Realistis Menuju Masa Depan Energi Indonesia mulai membuka ruang untuk mengembangkan energi nuklir. Dalam rencana jangka panjang ketenagalistrikan nasional, pemerintah telah memasukkan opsi pembangkit nuklir ke dalam peta jalan energi bersih. Targetnya, teknologi ini dapat mulai berkontribusi sekitar tahun 2033. Analisis dari berbagai lembaga energi menunjukkan bahwa tambahan kapasitas pembangkit nuklir di masa depan dapat membantu Indonesia mencapai target net zero emission tanpa harus bergantung sepenuhnya pada energi yang bersifat intermiten. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip diversifikasi energi. 

Sama seperti dalam portofolio investasi, semakin beragam sumber energi, semakin tangguh sistemnya menghadapi perubahan pasar dan iklim. Nuklir memberi dimensi baru pada strategi ini, dengan pasokan yang stabil, bersih, dan berdaya saing.

Ada beberapa alasan mengapa nuklir menjadi bagian penting dalam strategi energi masa depan. Pertama, keandalan pasokan. Reaktor nuklir mampu beroperasi secara konsisten selama lebih dari satu tahun tanpa henti. Hal ini membuat sistem kelistrikan tetap stabil bahkan saat pasokan energi lain menurun. Kedua, efisiensi dan daya saing biaya. 

Meski investasi awal besar, umur operasional reaktor yang panjang dan tingkat kapasitas tinggi membuat biaya listriknya kompetitif dalam jangka panjang. Ketiga, aspek lingkungan. Pembangkit nuklir menghasilkan emisi karbon nyaris nol, sehingga mendukung komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi global. Dan keempat, kemandirian teknologi. Dengan penguasaan teknologi nuklir yang aman dan modern, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar.

Transisi energi adalah proses mencari keseimbangan, bukan perlombaan ideologi. Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun sistem energi yang beragam dan tangguh, asalkan setiap keputusan didasarkan pada analisis yang rasional, bukan pada romantisisme atau tekanan tren global. 

Energi nuklir bukan pengganti, melainkan penyempurna. Ia hadir bukan untuk meniadakan energi terbarukan, tetapi untuk memperkuat fondasi sistem agar transisi menuju masa depan bersih benar-benar bisa terjadi. Dalam ekonomi, keputusan terbaik bukan yang paling populer, melainkan yang paling masuk akal. 

Begitu juga dalam energi. Di tengah kebutuhan listrik yang terus meningkat dan tantangan perubahan iklim yang nyata, pilihan rasional akan menentukan apakah kita bermimpi tentang masa depan hijau, atau benar-benar mencapainya. (Aimy).
×
Berita Terbaru Update