Opini
Renungan Publik
Oleh : Muhamad Zen (Wartawan & Pemerhati Kebijakan Publik)
SIMPULINDONESIA.com_ BANGKA BELITUNG,- Terkadang sebuah INSPIRASI datang dari tempat yang tak pernah kita duga. Ya, seperti pagi itu, tepat di depan Warung Kopi (Warkop) Akew persis di seberang Barata, Kota Pangkalpinang. Tatap mata saya tertuju pada seorang juru parkir bernama Bang Bujang.
Tubuhnya kurus, kulitnya legam, tapi senyumnya ramah dan tulus seperti biasa. Saat ia berjalan mendekat, saya membaca tulisan di kaos lusuh yang ia kenakan :
“Agar tidak dimanfaatkan orang lain, jadilah orang yang tidak bermanfaat.”
Saya pun spontan tertawa kecil. Sebuah kalimat sederhana, tapi mengandung satir yang luar biasa dalam. Seketika muncul ide iseng dalam kepala saya : tulisan ini harus lahir dari sana dari secuil kebijaksanaan jalanan yang kadang lebih jujur dari ruang seminar.
Kalimat di kaos itu seperti cermin bagi zaman ini. Kita hidup di era di mana orang baik sering kali dianggap bodoh, jujur dikira naif dan peduli dianggap cari muka.
Banyak orang yang berhenti berbuat baik bukan karena tak ingin, tapi karena lelah dimanfaatkan.
Maka muncul kesimpulan sinis :
“Agar tidak dimanfaatkan, jadilah tidak bermanfaat.” Lucu, tapi menohok.
Seolah menjadi petunjuk bertahan hidup di tengah masyarakat yang kian pragmatis.
Kita terlalu sering melihat kebaikan diperalat, keikhlasan dijadikan peluang dan solidaritas disulap jadi panggung.
Yang mau bekerja dianggap ‘bisa disuruh’, yang tulus dianggap ‘bisa dimanfaatkan’. Dan perlahan, orang-orang baik mulai bersembunyi di balik kalimat sarkas itu menyerah, tapi tetap ingin terlihat bijak.
Padahal, jika semua orang berhenti menjadi bermanfaat karena takut dimanfaatkan, maka dunia ini akan sunyi. Yang tersisa hanyalah orang licik yang bekerja tanpa malu, dan orang lelah yang berhenti peduli.
Sungguh keadaan yang lebih menyedihkan dari kemiskinan itu sendiri.
Sebagai alumni Universitas Gunung Maras, saya percaya satu hal sederhana: nilai hidup manusia diukur bukan dari seberapa lihai ia melindungi diri, tapi seberapa ikhlas ia memberi arti.
Karena, sesungguhnya, peradaban hanya akan tegak jika masih ada orang yang berbuat tanpa pamrih meski tahu suatu saat kebaikannya akan dimanfaatkan.
Jadilah orang baik, tapi cerdas. Bermanfaatlah, tapi dengan kesadaran penuh. Bukan untuk dipuji, bukan untuk dimanfaatkan, melainkan karena tanpa memberi, manusia kehilangan kemanusiaannya.
Dan jika suatu hari kamu merasa lelah karena kebaikanmu dimanfaatkan, ingatlah Bang Bujang di depan Warkop Akew itu.
Ia mungkin hanya juru parkir, tapi kata-katanya lebih tajam dari pamflet moral mana pun.
Mungkin benar, agar tak dimanfaatkan, jadilah tak bermanfaat. Tapi lebih benar lagi : agar hidup mu punya makna, tetaplah bermanfaat meski tahu dunia akan terus berusaha memanfaatkan mu. (Aimy).



