KENDARI__SIMPULINDONESIA.COM,— Sidang perkara dugaan ijazah palsu La Ami oknum anggota DPRD Kota Kendari Fraksi Nasdem masih berlanjut. Sabtu (11/10/2025).
Agenda sidang kali ini adalah pemerikasaan saksi dan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan dugaan ijazah palsu yang melibatlan politisi Nasdem Kota Kendari tersebut.
Jaksa Penuntut Umum Muhammad Irham Roihan.,S.H.,M.H., setidaknya menghadirkan dua orang saksi dan satu orang ahli hukum pidana.
Ahli yang dihadirkan JPU ini adalah Dr. Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Ahli tersebut tercatat setidaknya sudah memberikan keterangan sebelumnya sebanyak 535 kali.
Dalam perkara ijazah palsu tersebut Dr. Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., menjelaskan bahwa bagaimana suatu perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana?
“Suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana, syarat seseorang dapat dipidana itu kan dua. Jadi suatu perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan pidana, itu harus terpenuhi dua minimal Unsur Elementer dalam hukum pidana. Yang pertama berhubungan dengan niat jahat atau yang disebut dalam teori sebagai Mens Rea, ya, niat jahat. Yang kedua, ada yang disebut dengan Actus Reus, perbuatan jahat. Ini dua unsur pokok seseorang dapat dikualifikasi melakukan perbuatan pidana,”Ujarnya.
Dalam pengertian yang lain, kata Dr Apriyanto Nusa suatu perbuatan itu dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila perbuatannya melanggar kepentingan hukum yang dilindungi dalam undang-undang hukum pidana.
“Jadi, ini unsur pokoknya juga selain dia tertentu unsur baik sifatnya objektif Actus Reus-nya maupun subjektif Mens Rea-nya, sifat apa kehendak batinnya. Kemudian juga unsur objektif Actus Reus-nya. Kedua perbuatan itu melanggarkepentingan hukum yang dilindungi dalam undang-undang. Ini yang menjadi dasar suatu perbuatan dapat dipidana,”Sambungnya.
Dr. Apriyanto Nusa juga menjelaskan syarat-syarat perbuatan pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.
“Memang dalam hukum pidana itu ada dua, atau Dua ajaran atau pandangan yang dikenal. Ada ajaran yang namanya ajaran Monistis. Ajaran monistis ini, ini menyatukan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dalam artian bahwa seseorang ketika melakukan perbuatan pidana, terbukti unsur pertanggungjawaban pidananya, baik unsur yang sifatnya objektif Actus Reus maupun subjektif Mens Rea tadi, ini dianggap perbuatannya dapat dimintai pertanggungjawaban,”Jelasnya.
Tapi dalam konsep ajaran dualistis kata Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., itu memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dianggap bahwa pertanggungjawaban pidana bukan bagian dari unsur perbuatan pidana. Tapi dalam konsep monistis, bahwa unsur pertanggungjawaban pidana itu bagian dari unsur perbuatan pidana. Ketika seseorang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilarang dalam undang-undang hukum pidana, dia secara konsep monistis dapat dimintaipertanggungjawaban pidana.
“Tapi dalam konsepdualistis, ini memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana. Jadi, pertanggungjawaban pidana ini berdasarkan asas Geen Straf Zonder Schuld, tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan itu adalah suatu perbuatan, apa? Suatu perbuatan yang dapat dicela terhadap sikap batin dan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,”Jelasnya.
Dalam konteks penggunaan surat seperti ijazah, data otentik atau sertifikat kompetensi palsu, dapat masuk dalam delik biasa atau delik aduan atakukah delik formil maupun materil, Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan pasal 69.
“Yang Mulia. Kalau dilihat dalam perumusan Pasal 69 tentang penggunaan, ada lima objek di dalamnya: ada ijazah, kemudian sertifikat kompetensi, gelar akademik, kemudian profesi dan vokasi. Kalau dilihat dalam rumusannya, baik ayat 2 Pasal 69 ayat 1 maupun ayat 2, memang tidak mengatur tentang kualifikasi tindak pidananya. Ya, karena karakteristik delik aduan itu kan sebenarnya dia disebutkan sebagai tindak pidana aduan di dalam bab atau ketentuan yang mengatur tentang rumusan tindak pidana tertentu,”Jelasnya.
Sehingga, Kata Dr Apriyanto Nusa.,S.H.M.H., menjelaskan bahwa dengan tidak disebutkan bahwa ini merupakan delik aduan, ahli memandang bahwa akibat hukum dari pengaturan dari pasal 69 ayat 1 terkualifikasi dalam tindak pidana biasa, atau disebut dengan Gewone Delictie. Ini terkait dengan kualifikasinya. Kemudian, yang kedua terkait dengan jenis tindak pidananya, apakah ini tindak pidana formil atau tindak pidana materiil? Kalau dilihat dari rumusannya, bentuk perbuatan yang dilarang dalam Pasal 69 itu pada perbuatan penggunaannya. Ya, penggunaan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan dan atau vokasi, yang terbukti palsu.
“Sehingga, dari rumusan ini, maka kualifikasi dari tindak pidana dalam Pasal 69 UU Sisdiknas UU Nomor 20 Tahun 2023, ini kualifikasinya perbuatan pidana dalam Pasal 69 adalah pada perbuatannya, bukan pada akibat. Yaitu perbuatannya apa? Perbuatan penggunaan ijazah, maupun sertifikat, yang terbukti palsu. Sehingga tidak perlu membuktikan unsur akibat materiilnya, unsur kerugian,”Tegasnya.
Dr. Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., juga menjelaskan tentang Pasal 263, 264 ayat 2, dan 266 ayat 2, masuk delik biasa atau delik aduan.
“Dalam jawaban ahli, Pasal 263 ayat 1, ayat 2, 264, 266 termasuk di dalamnya ini terkualifikasi dalam tindak pidana formil. Ya, yang dilarang adalah penggunaan surat atau dokumen palsu. Sehingga, dengan demikian, bahwa yang dilihat apakah itu dapat merugikan, timbulnya akibat kerugian itu harus dapat, harus terbukti, ini bukan merupakan syarat, bukan merupakan Bestanddeel Delicte dalam Pasal 263, 264, dan 266. Sehingga kualifikasinya sama dengan Pasal 69, dia terkualifikasi sebagai delik formil, perbuatan yang dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang,”Jelas Ahli Dr. Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Perbuatan yang dilarang menurut Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., adalah pada penggunaan 263 ayat 2, 264 ayat 2, 266 ayat 2 pada penggunaan terhadap dokumen atau surat yang diberikan palsu.
Tak hanya itu, Dr Apryanto Nusa.,S.H.,M.H., juga menjelaskan tentang Pasal 69 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas, tentang sistem pendidikan nasional dalam sistem hukum di Indonesia serta hadirnya Undang-Undang Sisdiknas inimerupakan Lex Specialis dari penerapan khusus Pasal 263, 264 dan 266 KUHP.
“Kalau dilihat dari bentuk pengaturannya memang Pasal 69 terkaitdengan penggunaan terhadap Ijazah, Sertifikat, Kompetensi, Gelar Akademik, Profesi, dan Vokasi yang terbukti palsu. Ini merupakan pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang Sisdiknas. Dalam undang-undang Sisdiknas. Ini berbeda dengan dari sendiri dari undang-undang dalam undang-undang KUHP pasal 263. Sehingga memang tujuannya apa? Ini kan sebenarnya untuk perlindungan terhadap kegiatan pendidikan. Ya. Karena coba bayangkan kalau misalnya tidak diatur tentang konsep pendidikan ini yang tujuannya dalam yang tujuannya dan lain atau supaya proses belajar mengajar itu terjadi secara efektif ya, kemudian tiba-tiba ada orang yang kemudian menggunakan kekuasaannya, tidak melakukan proses belajar mengajar, tiba-tiba dapat ijazah, tiba-tiba dapat sertifikat kompetensi,”Jelasnya.
Ini kan sebenarnya melanggar, kata Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., melanggar terhadap inti dari konsep pendidikan dalam undang-undang Sisdiknas. Coba kalau diizinkan ahli membacakan definisi pendidikan dalam undang-undang Sisdiknas supaya kita bisa tahu sebenarnya arah dari pelarangan dalam pasal 64 itu apa?
“Izin membacakan Yang Mulia. Pendidikan dalam definisi originalnya dalam pasal 60 dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, itu menyebutkan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Jadi sebenarnya pendidikan itu tidak dilihat pada output ijazah-nya, tapi dilihat pada proses pembelajaran-nya. Ya sehingga terkesannya dia mendapatkan ijazah, tapi dia tidak menempuh proses pembelajaran secara efektif, sebenarnya ini bagian dari pelanggaran terhadap konsep pendidikan dalam undang-undang Sisdiknas,”Sambungnya.
“Itu yang diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang Sisdiknas, agar supaya apa? Ketika orang menggunakan gelar akademik, menggunakan ijazah, itu adalah pembuktian gelar akademik ijazah melalui proses pendidikan, proses pembelajaran yang dilalui dalam dunia pendidikan. Ya, sehingga ketika orang melakukan atau menggunakan ijazah, menggunakan gelar akademik, sementara dia tidak pernah ikut proses pembelajaran dalam ruang akademik yang dapat dipertanggungjawabkan, bagaimana dia dianggap sebagai orang yang melakukan proses pendidikan? Itu yang dilindungi dalam Pasal 69, agar supaya tidak akan terjadi apa yang disebutdalam teori pelacuran pendidikan, yang orang-orang tiba-tiba tidak mengikuti proses pembelajaran, pada akhirnya dia mendapatkan gelar akademik, ijazah maupun yang lainnya disebutkan dalam Pasal 69,”Tambah Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Jadi, kata Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., bahwa harus sesuai dengan hukum yang dilindungi dalam undang-undang Sisdiknas, ya, orang yang benar-benar mendapatkan gelar akademik, ijazah, adalah orang yang benar-benar melalui proses pembelajaran, ya, pembelajaran di dunia pendidikan. Tidak boleh. Karena apa? Coba bayangkan, saya yang mulia ini 20 tahun kuliah. Kita sudah lama-lama ikut kuliah, tapi tiba-tiba ada orang karena kekuasaannya, tiba-tiba dia mendapatkan ijazah, ya. Bagaimana kerugian kita sebagai orang terdidik? Yang kalau begitu jadinya, ya, tidak perlu lagi pendidikan. Ini yang dilarang dan dilindungi dalam undang-undang pendidikan, agar supaya tidak bisa orang yang tiba-tiba karena kekuasaannya, mendapatkan gelar akademik dan ijazah hanya karena kekuasannya, padahal dia tidak mengikuti proses belajar dan pembelajaran.
Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., juga menjawab pertanyaan JPU soal unsur delik Pasal 69 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas ini tidak menyebutkan unsur delik dengan sengaja sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 263 ayat 2 KUHP, 264 ayat 2 KUHP dan 266 ayat 2 KUHP.
“Memang kalau kita lihat dalam redaksi perumusan ketentuan pidana, ada norma atau pasal yang menyebutkan secara eksplisit, tertulis unsur kesengajaan, dengan sengaja dalam rumusan normanya, tapi ada juga yang tidak menyebutkan unsur dengan sengaja dalam rumusan tindak pidana. Perbedaan ini termuat dalam Pasal 69. Di Pasal 69 Undang-Undang Sisdiknas tidak menyebutkan unsur dengan sengaja pada penggunaan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi maupun vokasi. Tapi dalam unsur perbuatan dokumen palsu, baik maupun penggunaan dokumen palsu di Pasal 263 ayat 2, 264 ayat 2, 266 ayat 2, itu menyebutkan unsur kesengajaan-nya. Ini kan sebenarnya secara teori perbedaannya, kan sebenarnya hanya berhubungan dengan pembuktian Yang Mulia,”Jawabnya.
“Kalau misalnya unsur kesengajaan itu off set, tertulis disebutkan sebagai unsur delik, maka konsekuensi yuridisnya Jaksa harus bisa membuktikan unsur kesengajaan itu dalam fakta persidangan. Tapi kalau misalnya dalam rumusan tindak pidana tidak menyebutkan unsur kesengajaan, maka tidak perlu, tidak wajib membuktikan unsur kesengajaan-nya, cukup membuktikan unsur-unsur tindak pidananya saja. Ketika unsur-unsur tindak pidananya, misalnya dalam Pasal 69 ayat 1 terpenuhi, itu dianggap terpenuhi juga unsur kesengajaan di dalamnya. Ini yang disebut dalam teori sebagai unsur kesengajaan terselubung ya, dalam pasal tindak pidana yang tidak menyebutkan unsur kesengajaan-nya, tapi konsekuensinya tidak perlu dibuktikan, hanya dibuktikan unsur-unsur yang secara eksplisit tertulis disebutkan dalam rumusan tindak pidananya,”Sambung Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Menurut Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., soal niat itu perlunya pembuktian dalam penerapan pasal 69 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas bahwa niat itu tercermin pada perbuatan.
“Ya, gini, siapa yang bisa membuktikan niat seseorang? Karena dalam teori disebut intention in no men perri niat itu tercermin pada perbuatan. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 69 bisa terkonkretkan dalam unsur menggunakan ijazah palsu, sertifikat kompetensi yang terbukti palsu. Sehingga untuk membuktikan perbuatan pidana itu, ya, tidak cukup dengan membuktikan unsur niat-nya, unsur Mens Rea-nya, makanya ahli sebutkan tadi, unsur perbuatan pidana itu akumulasi dari Mens Rea dan perbuatan jahat. Kalau ada perbuatan jahat, perbuatan jahat dalam Pasal 69 adalah menggunakan dokumen yang terbukti palsu, maka itu sebenarnya merupakan representasi dari niat jahat-nya. Ya. Karena kehendak jahat itu merupakan urusan batiniah, ya, yang akan kita ketahui ketika perbuatan konkret itu terjadi,”Jelasnya
“Sehingga tidak, makanya di Pasal 69, mungkin itu alasannya kenapa tidak disebutkan unsur kesengajaan-nya, cukup dibuktikan unsur perbuatan-nya, yang penting ada penggunaan terhadap dokumen-dokumen yang disebutkan ijazah, gelar akademik, kemudian terbukti palsu, berhubungan dengan lembaga yang berwenang untuk membuktikan kebenaran dari suatu produk pendidikan,”Tambah Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Dari Frasa terbukti palsu dalam pasal 69 ayat 1 kata Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., bahwa masing-masing lembaga pendidikan punya kewenangan membuktikan produk yang dikeluarkan.
“Urusan pendidikan ini adalah urusanlembaga khusus yang menangani pendidikan. Di sekarang kita ini yang dulunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekarang sudahdibagi tiga. Ada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, kemudian sekarang sudah ada Pendidikan apa, Pendidikan Tinggi dan Sains dan Teknologi, kemudian ada Kementerian Pendidikan Kebudayaan. Masing-masing lembaga itu punya kewenangan, kewenangan untuk membuktikan produk yang dia keluarkan, termasuk kalau misalnya urusan ijazah itu kan sebenarnya kewenangan dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, kalau misalnya di SMA ke bawah,”Jelasnya.
“Sehingga siapa yang membuktikan bahwa itu asli atau tidak, diaterdaftar atau tidak? Karena di kementerian itukan ada database apa, database setiap orang yang ikut dalam proses pembelajaran Pendidikan sehingga untuk membuktikan itu ya cukup dengan meminta keterangan dari lembaga yang berwenang yaitu kementerian terkait. Ahli tidak bisa menyebutkan. Kalau misalnya dia menyebutkan, dia bisa membuktikan bahwa dia tidak terdaftar dalam database pendidikan sebagai pelajar, ya itu juga menurut ahli membuktikan bahwa terhadap ijazah yang dia gunakan, yang dia miliki, itu adalah ijazah palsu, terkait isinya ya, isi ijazahnya. Dia tidak memiliki hak terhadap ijazah yang diapakai,”Sambung Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Dalam implementasi Pasal 69 Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., menjelaskan tentang pertanyaan JPU apakah harus terdapat kerugian nyata dan pembuktian kerugian.
“Di pasal 69 ayat 1 memang unsur akibat kerugian itu merupakan bukan merupakan unsur tindak pidana. Makanya yang tersebut tadi tindak pidana pasal 69 itu kualifikasinya tindak pidana formil. Yaitu tindak pidana terfokus pada penggunaan ijazah sertifikat atau yang terbukti palsu, bukan terbukti palsu ini sebenarnya fokusnya bukan kepada hukum pidana material sebenarnya fokusnya pada hukum pidana formil. Tapi buktinya dalam proses persidangan, apakah lembaga pendidikan bisa membuktikan bahwa dia punya hak terhadap ijazah, sertifikat dan lainnya?,”Tegas Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,
Dr Apryanto Nusa.,S.H.,M.H., juga memberikan jawaban tegas atas ilustrasi yang diberikan oleh JPU.
“Terima kasih. Kalau ini konstruksiberdasarkan fakta, ya. Jadi, kalau kita kembali ke rumusan Pasal 263 ayat 2, penggunaan surat palsu. Kalau dikonstruksikan ini surat palsu, kalau berdasarkan hasil dari kementerian pendidikan, berarti dokumen yang digunakan untuk pergantian nama ijazah itu nilainya itu yang tidak sesuai dengan database dari kementerian, begitu. Kalau misalnya ini dikonstruksikan ke Pasal 63, ya, semestinya ini berhubungan dengan unsur kehendak, unsur pengetahuan. Yang semestinya, pengetahuan terhadap penggunaan dokumen berupa ijazah Paket C yang dimohonkan untuk dilinearkan namanya di proses permohonan penetapan di pengadilan itu sebenarnya harus ada pengetahuan, sudah ada pengetahuan atau kehendak dari pelaku sebelumnya,”Ujarnya.
“Dalam artian bahwa ijazah Paket C ini kan tidak tiba-tiba muncul dari langit. Untuk menunjukkan bahwa seseorang itu pernah ikut proses pembelajaran Paket C di PKBM yang menyelenggarakan proses belajar mengajar, itu kan semestinya dia juga tahu bahwa apakah dia pernah ikut proses belajar mengajar, dia terdaftar sebagai siswa di PKBM yang bersangkutan, apakah ada data, ada data pendukungnya. Kalau misalnya dia sadar, dia tahu, dia tidak pernah melakukan, dia tidak pernah ikut terlibat dalam dalam proses pendidikan, kemudian dia mendapatkan produk pendidikan dalam bentuk ijazah, kemudian digunakan untuk permohonan di pengadilan, berarti ada kesadaran dan ada kehendak batin pelaku untuk menggunakan dokumen yang palsu tadi untuk kepentingan tertentu. Sehingga, kapan itu perbuatan terpenuhi? Ya, pada saat dia gunakan untukkepentingan permohonan di pengadilan. Overt Act selesai perbuatannya,”Tambahnya.
“Persoalan apakah ada yang dirugikan, itu bukan unsur tindak pidana Pasal 263, karena kepentingan hukum di Pasal 263 itu kan sebenarnya kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran isi dokumen, bukan pada apa, mencegah terjadinya kerugian terhadap penggunaan ijazah. Sehingga, menurut ahli, bahwa kapan terjadi tindak pidana dalam case yang disebutkan tadi, itu pada saat dokumen itu digunakan sebagai salah satu syarat dokumen dalam hal permohonan di pengadilan,”Sambungnya.
Tak hanya itu Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H., juga menjelaskan bahwa dokumen palsu dalam teori ada dua.
“Dokumen palsu itu dalam teori dua, ada yang namanya Intellectual Forgery (Intellectual Falsehood). Jadi, palsunya suatu surat itu terletak pada isi suratnya, bukan pada bentuknya. Jadi, bisa saja bentuknya asli, tetapi isinya bertentangan dengan keadaan sebenarnya, itu disebut juga dokumen atau surat palsu. Ada juga namanya Material Forgery (Material Falsehood), yang palsunya itu bukan terletak pada isinya, tapi pada nama yang ada dalam surat. Jadi, bisa saja isinya benar, tapi dia tidak punya kompetensi, namanya ada ada dalam isi surat. Jadi, dua bentuk ini. Kalau ditanyakan tentang konteks tadi, maka ahli bisa menyimpulkan yang dimaksud dalam fakta ini adalah Intellectual Falsehood, yaitu palsunya itu bukan pada bentuknya, tapi pada isi suratnya,”Tegas Dr Apriyanto Nusa.,S.H.,M.H.,