Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Diduga Terlibat Kasus Korupsi Mega Proyek, Bupati Kolaka Utara Dilaporkan di Kejaksaan Tinggi

Senin, 22 September 2025 | 11.31 WIB Last Updated 2025-09-22T04:31:34Z
Gambar : Situasi di depan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara saat pengunjuk rasa mengantarkan laporan resmi terkait dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Kolaka Utara. (Foto/Ist).


KENDARI__SIMPULINDONESIA.COM,—  Gerakan Anti Korupsi Sulawesi Tenggara secara resmi melaporkan dugaan keterlibatan Bupati Kolaka Utara dalam tindak pidana korupsi proyek pembangunan Bandar Udara Kolaka Utara. Senin (22/09/2025).


Laporan dengan nomor 001/LP/GRK/22/09/2025 telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara. 


Ketua Gerakan Anti Korupsi Sulawesi Tenggara, Farid Fagi Maladi, S.AP, menegaskan bahwa laporan ini disusun untuk menuntut akuntabilitas pejabat publik dan mendorong penegakan hukum yang transparan.


Dugaan Penyimpangan Proyek


Proyek Pematangan Lahan Bandar Udara Kolaka Utara (pembangunan talud dan penimbunan) digagas sejak 2018–2019 sebagai program strategis untuk membuka akses transportasi udara dan memperkuat perekonomian daerah. 


Pembiayaan berasal dari pinjaman daerah sekitar Rp97,47 miliar yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor 221 tanggal 16 Oktober 2020 antara Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Tenggara. 


Dari total itu, satu paket besar senilai Rp41,15 miliar dialokasikan untuk pematangan lahan bandara dan dikerjakan oleh PT Monodon Pilar Nusantara pada Mei 2020.


Menurut Farid, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru menghitung kerugian secara parsial sebesar Rp9,87 miliar. 


Namun fakta di lapangan menunjukkan potensi kerugian total loss setara nilai kontrak Rp41,15 miliar, karena pekerjaan di Duga dilakukan tanpa dokumen perencanaan yang sah, tanpa izin lingkungan (Amdal) final, izin reklamasi penimbunan laut dan menghasilkan fisik proyek yang tidak dapat dimanfaatkan. 


Talud dilaporkan rusak, pemadatan tanah tidak memenuhi standar teknis, dan lahan tidak layak untuk tahap pembangunan bandara berikutnya.


Dugaan Manipulasi dan Penyimpangan Anggaran


Gerakan Anti Korupsi Sulawesi Tenggara juga menyoroti dugaan manipulasi dokumen pinjaman kredit. 


Terdapat perbedaan angka antara Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD Nomor 33 Tahun 2020 dan nilai yang tercantum dalam akta kredit. 


Sebagai contoh, pagu pembangunan Jembatan Latawaro di APBD hanya Rp694,66 juta, tetapi dalam akta kredit naik menjadi Rp714 juta. Perbedaan ini memunculkan dugaan rekayasa dokumen untuk memperbesar pinjaman.


Selain itu, ditemukan sembilan paket pekerjaan yang tidak tercantum dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor 221, tetapi tetap dicairkan oleh BPD Sulawesi Tenggara pada 22 Desember 2020. 


Proses ini berlangsung sebelum terbitnya Akta Perubahan Nomor 101 tanggal 3 November 2021 yang seharusnya menjadi dasar perubahan. 


Gerakan Anti Korupsi Sulawesi Tenggara menduga terjadi kesepakatan tidak sah antara Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dan pihak bank untuk mencairkan dana di luar ketentuan, melanggar ketentuan Kementerian Dalam Negeri.


Farid menilai praktik tersebut memperlihatkan pola penggunaan anggaran yang tidak prosedural dan berisiko tinggi. 


Pinjaman daerah yang seharusnya diawasi ketat justru dipakai untuk kegiatan yang tidak sesuai peruntukan, di duga tanpa persetujuan DPRD dan Mendagri. Kondisi ini berpotensi menjadikan seluruh dana pinjaman dan bunga sebagai kerugian negara.


Desakan Tindakan Hukum


Farid Fagi Maladi menegaskan bahwa semua temuan di atas merupakan dugaan kuat pelanggaran hukum yang melibatkan pejabat eksekutif dan lembaga keuangan daerah. 


“Kami meminta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara memanggil dan memeriksa Bupati Kolaka Utara, pihak Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara, serta seluruh pejabat dan pihak terkait yang terlibat dalam perencanaan, pencairan, dan pelaksanaan proyek,” tegasnya.


Gerakan Anti Korupsi Sulawesi Tenggara juga mendesak audit investigatif ulang oleh BPK atau BPKP dengan metode total loss untuk menilai seluruh pembayaran termasuk biaya pemulihan dan beban pinjaman. 


Farid juga menambahkan bahwa penyidikan harus diperluas kepada DPRD Kolaka Utara, tim anggaran, pejabat keuangan daerah, kelompok kerja pengadaan, dan pihak-pihak lain yang terkait kebijakan. 


“Pentingnya penegakan hukum lingkungan, karena pembangunan tanpa Amdal final melanggar aturan dan berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis,”Tegasnya.

×
Berita Terbaru Update