Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Opini : Masalah Tafsir Perintangan Penyidikan

Sabtu, 3 Mei 2025 | 8:08 PG WIB Last Updated 2025-05-03T01:08:17Z
Foto : Muhammad Takdir Al Mubaraq.,S.H.,M.H.,


SIMPULINDONESIA.COM__KENDARI,— Ditengah ramainya pemberitaan atas penangkapan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap 3 orang tersangka dari 3 profesi yang berbeda, yaitu seorang Dosen Fakultas Hukum, seorang Advokat, dan Direktur Pers terkait perintangan penyidikan perkara PT. Timah dan impor gula dengan tersangka Tom Lembong. Butuh keberanian untuk menulis artikel ini. Apalagi dengan mengangkat isu perintangan penyidikan yang sedanghangat-hangatnya diperbincangkan.

 

Menilik konferensi pers yang disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dasar menetapkan ketiganya sebagai tersangka perintangan penyidikan dikarenakan adanya kesengajaanmembentuk opini negatif seolah yang ditangani penyidiktidak benar, menggangu konsentrasi penyidik dengan harapan perkaranya dapat dibebaskan atau minimal menganggu konsentrasi penyidikan. (Tempo.co, 22/4/2025).

 

Ada yang menarik dari konferensi pers yang disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung tersebut. Dimana menganggu konsentrasi penyidikan menjadi salah satu bentuk dapat dikenakannya pasal perintangan penyidikan dalam tindak pidana korupsi.

 

Pengaturan Obstruction of Justice

 

Istilah perintangan penyidikan dalam bahasa asingnya kerap kali disebut Obstruction of Justice. Secara definisi,jika membuka Black Law Dictionary, Obstruction of Justicediartikan sebagai “the act by which one or more persons attempt to prevent, or do prevent, the execution of lawful process” (tindakan seseorang atau lebih yang berusaha mencegah atau memang mencegah pelaksanaan proses hukum).

 

Di Indonesia sendiri, kita tidak akan menemukan istilahObstruction of Justice. Akan tetapi kriteria Obstruction of Justice sebagaimana definisi Black Law Dictionary dapat tertemukan muatan normanya pada KUHP yaitu pada Pasal 221, Pasal 222, Pasal 223, Pasal 224, Pasal 225, dan Pasal 233 serta Pasal 21 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(UU Tipikor). Perbedaan pengaturan Obstruction of Justice yang terdapat didalam KUHP hanya berlaku untuk tindak pidana umum saja, sedangkan Pasal 21 UU Tipikor berlaku ketika perkara tersebut termasuk dalam tindak pidana korupsi.

 

Selain didalam UU Tipikor, pengaturan Obstruction of Justice juga terdapat didalam konvensi PBB tentang Anti Korupsi yaitu pada Pasal 25 UNCAC (United NationsConvention Against Corruption), dimana bentuk perbuatan dari Obstrucion of Justice menurut UNCAC ada 2 (dua), yaitu: PERTAMA,adanya kekuatan fisik, intimidasi atau pemberian janji kepada seseorang untuk memberikan kesaksian palsu. KEDUA, adanya kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi untuk menggangu pelaksanaanbadan peradilan atau penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

 

Membandingkan antara pengaturan Obstruction of Justicedidalam Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 25 UNCAC kiranya terdapat perbedaan, dimana didalam UNCAC bentuk perbuatannya lebih konkret dibandingkan dengan pengaturan didalam UU Tipikor yang masih terkesan abstrak dan perlu penafsiran.

 

Sejarah Lahirnya Pengaturan Obstruction of Justice

 

Menilik sejarah pembentukan UU Tipikor di Indonesia, pengaturan Obstruction of Justice sebenarnya pertama kali diatur saat berlakunya UU 3/1971, yaitu pada Pasal 29 dengan rumusan norma aslinya adalah “barangsiapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 juta rupiah”. 

 

Saat diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tipikor oleh Presiden B.J Habibie kepada DPR pada 8 Februari 1999 sebagai perubahan atas UU 3/1971. Rumusan norma Obstruction of Justicesedikit direformulasi. Hal itu dapat dilihat didalam Pasal 18 RUU Tipikor 1999 dengan mengubah frasa barangsiapa menjadi setiap orang, menambahkan adanya pidana minimum baik pidana penjara maupun denda. Serta menyesuaikan besaran pidana denda yang dijatuhkan sesuai dengan kondisi keuangan Indonesia saat itu. Olehnya itu, rumusan norma Pasal 18 dalam RUU Tipikor 1999 yang mengatur tentang Obstruction of Justicemenjadi “setiap orang yang dengan sengaja menghalangi, mempersulit secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka pengadilan terhadap terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda 150 juta dan paling banyak 600 juta”.

 

Pada tanggal 20 April 1999 dilakukan Rapat Panitia Khusus pembahasan RUU Tipikor, akan tetapi Ridwan Sani dari Fraksi Karya Pembangunan dan Taufiq Ruki dariFraksi ABRI meminta agar memperjelas tafsir menghalangi dan mempersulit yang ada didalam Pasal 18 RUU Tipikor karena berkonsekuensi terjadi penyalahgunaan wewenang. Olehnya itu, saat rapat tersebut disepakati rumusan normanya diubah dari menghalangi, mempersulit menjadi mencegah, merintangi, atau menggagalkan. Hanya saja, saat pembahasan RUU tersebut, Ketua Rapat Agus Muhyidin meminta agar tafsir mengenai mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung itu dirumuskan lebih jelas lagi oleh pemerintah. Kendati demikian, sampai dengan disahkannya UU Tipikor dan perubahannya pada tahun 2001, tidak terdapat penjelasan lebih detil apa yang dimaksudkan dengan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 UU Tipikor yang saat ini berlaku..

 

Masalah Tafsir

 

Sejak masa pembentukannya, nyatanya UU Tipikor masih menyisakan pekerjaan yang belum tuntas, khususnyamengenai apakah bentuk perbuatan konkret dari “mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” didalam Pasal 21 UU Tipikor itu haruslah benar-benar menganggu jalannya proses hukum ataukah cukup hanya ada potensi untukitu? 

 

Mengenai pertanyaan tersebut, implementasi perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung diterapkan secara beragamdidalam praktek. Setidaknya ada 3 (tiga) tafsiran dari perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan dalam Pasal 21 UU Tipikor yang pernah diputus oleh Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia, yaitu: PERTAMA, perbuatan melakukan pengaduan kepada atasan penyidik atas proses penyidikan yang dilakukan karena tidak sesuai dengan prosedur hukum. KEDUA, memerintahkan orang lain yang kedudukannya sebagai saksi untuk tidak memenuhi panggilan penyidik. KETIGA, memerintahkan orang lain yang kedudukannya sebagai saksi untuk memberikan keterangan lain dari yang sebenarnya.

 

Melihat tafsiran PERTAMA, perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung suatu proses hukum (penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan) itu cukup ada potensi dan tidak perlu benar-benar terjadi. Hal inilah yang terjadi pada Upa Labuhari seorang Advokat yang ditangkap oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu dan dijatuhi pidana 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bengkulu karena melakukan perlawanan hukum atas penyidikan yang dilakukan terhadap kliennya karena dianggapnya tidak sesuai dengan prosedur hukum. Sekalipun Mahkamah Agung kemudian membebaskannya karena menganggap perbuatan yang dilakukan Upa Labahuri sebagai seorang Advokat tidak menggangu proses hukum yang sedang berjalan.

 

Berbeda halnya dengan tafsiran KEDUA dan KETIGA,dimana wujud dari perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung suatu proses hukum itu memang benar-benar terjadi, bukan lagi potensial. Karena saksi yang tidak hadir atau saksi yang memberikan keterangan lain dari yang sebenarnya sudah barang tentu menjadikan proses hukum menjaditerganggu bahkan dapat berujung terhenti. 

 

Oleh karena adanya ketidak seragaman atas tafsir mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung suatu proses hukum,ditambah lagi adanya tafsir baru oleh Kejaksaan Agung termasuk dengan menggangu konsentrasi penyidikan, maka semakin menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah pihak, baik yang berprofesi sebagai advokat, dosen, pers, termasuk masyarakat yang melakukan pengawasan atas proses penegakan hukum karena dengan mudahnya dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor. 


Persoalannya didalam praktek, tafsir atas perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung suatu proses hukum cukup hanya ada potensi.

 

Revisi UU Tipikor

 

Pada prinsipnya saya setuju dengan adanya pengaturan didalam UU Tipikor yang mengatur tentang dapat dipidananya orang-orang yang mempersulit proses hukum. 


Tetapi dengan catatan, muatan norma yang mengatur perbuatan yang dilarang tersebut mestilah jelas. Hukum pidana berlaku asas nullum crimen sine lege certayang mengharuskan tiap ketentuan pidana dirumuskan secara jelas dan tidak ambigu, hal itu dilakukan demi menjamin hak atas kepastian hukum dan perlindungan dari tindakan sewenang-wenang. 


Olehnya itu, norma Pasal 21 UU Tipikor ini mestilah dilakukan perubahan atau setidak-tidaknya diberikan penjelasan lebih konkret. 

 

Sebenarnya, Pasal 21 UU Tipikor ini telah dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2023 yang lalu yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 64/PUU-XXI/2023, akan tetapi amar putusan atas perkara pengujian tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah disebabkan karena pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas pertautan potensi kerugian pemohon dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusinal dengan berlakukan Pasal 21 UU Tipikor.

 

Walakin, dalam revisi UU Tipikor dimasa mendatang demi mencegah terjadinya ambiguitas hukum atas norma Pasal 21 UU Tipikor, sebaiknya perbuatan yang dilarang tidak lagi menggunakan frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan” melainkan menyadur frasa yang diatur didalam Pasal 25 Konvensi PBB tentang Anti Korupsi yaitu dengan penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi”. 


Penggunaan frasa itu lebih mudah keterukurannya dibanding dengan frasa mencegah, merintangi atau menggagalkan yang saat ini berlaku.Kalau pun tetap menggunakan frasa yang sama seperti didalam Pasal 21 UU Tipikor saat ini, maka perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung itu haruslah dimaknai benar-benar terjadi dan tidak berupa potensi.

 

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H. (Penulis merupakan Alumni FH UGM)

Editor : Nur

 


 


 


 


 


 


 


 


 


 



Iklan

×
Berita Terbaru Update