“Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya” pesan singkat itu kini jadi bahan obrolan di warung kopi, pasar, hingga Group WhatsApp warga, bahkan menjadi viral di media sosial, Senin (11/8/2025).
Gerakan ini awalnya digagas sebagai kampanye moral untuk menolak politik uang yang diduga dilakukan oleh para kandidat Calon Wako dan Wawalko Pangkalpinang
2025.
Pesan yang tertulis di baleho tersebut begitu lugas, jelas, tanpa menyebut nama, partai, atau arah dukungan.
Namun, reaksi yang muncul dari masyarakat ternyata beragam, mulai dari sambutan positif hingga kegelisahan yang terlihat dari pihak-pihak tertentu.
“Kalau pesan ini membuat seseorang resah, mungkin dia perlu bercermin,” sindir seorang aktivis demokrasi yang enggan disebutkan nanya sambil tersenyum tipis kepada para awak media, Minggu (10/8/2025).
Menurutnya, mereka yang merasa ‘terpukul’ justru patut dipertanyakan komitmennya terhadap praktik politik bersih.
“Kalau memang tidak main uang, setidaknya harus ikut mendukung bahkan memasang pesan ini di depan rumahnya,” tukasnya.
Sementara, di tingkat akar rumput, respon publik cenderung mengapresiasi dan setuju dengan pesan yang disampaikan melalui baliho tersebut. Hal ini sebagaimana yang utarakan salah seorang pedagang pasar di Pangkalpinang.
“Kalau ada yang mau kasih uang, ya ambil saja, tapi jangan sampai suara kita terbeli. Uang habis sehari, pemimpin salah bisa lima tahun nyusahin,” ujarnya dengan nada tegas mengingatkan.
Namun, di balik dukungan itu, ada juga muncul tanda-tanda kegelisahan dari pihak tertentu. Meski tak diucapkan secara terbuka, desas-desus menyebutkan ada yang tengah berupaya mencari cara untuk meredam gaung baliho ini.
Dugaan itu muncul dikarenakan pesan ini, walau tidak menyasar pada individu, bisa saja mengingatkan publik pada praktik yang selama ini terjadi di lapangan. Beberapa pengamat politik lokal menilai, dampak baliho ini lebih besar dari sekadar slogan anti politik uang.
“Pesan itu membangkitkan kesadaran politik warga secara instan. Sekali baca, orang langsung paham maksudnya. Efeknya bisa mengurangi daya tawar politik uang di tengah masyarakat,” kata salah seorang pengamat yang juga enggan disebutkan namanya.
Fenomena semacam ini juga membuka pertanyaan mendasar : Mengapa sebuah ajakan untuk menolak politik uang bisa dianggap mengancam ? Apakah karena pesan tersebut mampu memotong strategi tertentu yang selama ini dianggap efektif ? Ataukah karena ia menyinggung realitas yang terlalu dekat dengan kenyataan ?
Menjelang Pilwako yang hanya menghitung hari ini, di mana perebutan suara semakin ketat, maka kehadiran pesan moral seperti ini tentu tidak bisa dipandang enteng.
Ia bukan hanya menantang praktik transaksional dalam politik, tetapi juga menjadi semacam “Tes Kejujuran” bagi para kandidat. Siapa yang merasa terganggu, mungkin perlu menjawabnya dengan tindakan, bukan sekadar reaksi emosional.
Satu hal yang jelas, baliho “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya” telah berhasil mencuri perhatian publik, memicu diskusi kritis dan memberi gambaran bahwa kesadaran politik warga Pangkalpinang mulai bergerak.
Di tengah hiruk pikuk kampanye, pesan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati tidak dibeli, melainkan dibangun lewat pilihan yang bebas dari intervensi uang. (Aimy)
(KBO Babel)