Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Opini : RUU KUHAP dan Revolusi Praperadilan

Kamis, 15 Mei 2025 | 07.40 WIB Last Updated 2025-05-15T00:40:36Z

Gambar : Muhammad Takdir Al Mubaraq.,S.H.,M.H., (Foto/Ist).

 

SIMPULINDONESIA.COM__KENDARI,— Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengahdigodok DPR membawa angin perubahan besar bagisistem peradilan pidana Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah penguatan lembaga praperadilan. Sayamenyebutnya sebagai sebuah "revolusi kecil" dalamhukum acara pidana, karena menawarkan pergeseranparadigma menuju penegakan hukum yang lebihakuntabel dan berkeadilan. 

 

Selama ini, praperadilan diharapkan menjadi palang pintupengawasan atas serangkaian penyidikan dan penggunaan upaya paksa. Namun, dalam praktiknyalembaga ini justru kerap menjadi jalan buntu. Pengujiannya yang cenderung formalistik, menyisakancelah prosedural yang kerap kali dimanfaatkan untukmenggugurkan kewenangan lembaga praperadilan. Alih-alih menjadi benteng perlindungan hak asasi manusia(HAM), praperadilan malah terjebak dalam formalitas yang meminggirkan substansi keadilan.

 

RUU KUHAP yang ditawarkan hari ini, tak bisa dilepaskandari telah disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentangKitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Oleh karena itu, RUU KUHAP dirancang bukan hanya sebagaipenyesuaian teknis, melainkan menawarkan paradigmabaru yang lebih progresif. Termasuk dengan memperluascakupan dan mempertegas mekanisme pengawasanaparat penegak hukum. Praperadilan dirombak agar tidaklagi sekadar prosedur kosong, melainkan benar-benarmenjadi benteng HAM yang kokoh dan nyata.

 

Praperadilan dalam KUHAP saat ini

 

KUHAP yang diundangkan lewat UU Nomor 8 Tahun 1981 saat ini telah berusia 44 tahun. Sejak awal, ruang lingkuppraperadilan sangatlah terbatas. Hanya diatur dari Pasal 77 hingga Pasal 83. Kewenangannya dibatasi pada pengujian sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan sertaganti rugi dan rehabilitasi. Keterbatasan ini kerapdimanfaatkan, sehingga penetapan tersangka atautindakan upaya paksa dilakukan tanpa prosedur hukumyang layak.

 

Kasus Prita Mulyasari pada 2008 menjadi contoh nyataketika ia tidak bisa memanfaatkan praperadilan untukmenguji penetapannya sebagai tersangka, karena KUHAP saat itu belum mengakomodasi kewenangan tersebut. Baru pada tahun 2014, melalui Putusan MahkamahKonstitusi 21/2014, ruang lingkup praperadilan diperluas, termasuk untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

 

KUHAP sebagai hukum acara yang mengatur alat negara menindak pelanggar hukum justru banyak diubah melaluiputusan Mahkamah Konstitusi (MK) khususnya yang berkelindan dengan pemeriksaan praperadilan. Pada tahun 2015 MK telah menyatakan mengenai Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) wajibdisampaikan kepada korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 hari (Putusan MK 130/2015). MK juga menyatakan dalam Putusan MK 102/2015 mengenaibatas waktu permohonan praperadilan menjadi gugurketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulaisidang pertama.

 

Persoalan batas waktu menggugurkan permohonanpraperadilan inilah yang kerap menimbulkan persoalandalam praktik. Meskipun KUHAP menentukan jangkawaktu pemeriksaan praperadilan selama 7 hari, faktanya, kewenangan praperadilan sering kali menjadi gugursebelum tenggat waktu tersebut terpenuhi. Hal ini terjadikarena berkas perkara telah lebih dulu dilimpahkan kepengadilan untuk diperiksa pokok perkaranya.

 

Kasus Sulkarnain Kadir, mantan Wali Kota Kendari, menjadi contoh nyata. Permohonan praperadilannyabelum selesai diperiksa hingga tuntas, namun langsungdinyatakan gugur karena pokok perkaranya telahdilimpahkan dan akan disidangkan. Kasus inimemperlihatkan bagaimana celah hukum dalam KUHAP saat ini membuka ruang bagi praktik yang justrumelemahkan fungsi pengawasan praperadilan. 

 

Kondisi ini menjadi problematik, sebab praperadilan yang idealnya berfungsi sebagai pengawas atas kinerja aparatpenegak hukum, terutama terkait tindakan penyidikan dan upaya paksa, justru dipersempit ruang geraknya. Kelemahan normatif ini menjadikan praperadilan sekadarformalitas yang mudah dipatahkan ketika perkaramemasuki sidang pokok. Akibatnya, praperadilan kerapdianggap sebagai “ruang hampa” yang gagal menjalankanfungsinya sebagai mekanisme kontrol yang efektif. 

 

Praperadilan yang Lebih Progresif

 

RUU KUHAP yang saat ini dibahas mengatur secarakhusus pengokohan lembaga praperadilan dalam Pasal 149 hingga Pasal 155. Dalam pengaturan baru ini, praperadilan mengalami transformasi mendasar yang memperluas cakupannya secara signifikan. 

 

Ke depan, kewenangan praperadilan tidak lagi terbataspada pengujian keabsahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, gantirugi, rehabilitasi, penetapan tersangka, penggeledahan,dan penyitaan. Melalui RUU KUHAP, ruang lingkuppraperadilan diperluas untuk mencakup pula pengujiantindakan aparat penegak hukum lain yang membatasiHAM, seperti penyadapan, pemeriksaan surat dan larangan untuk keluar wilayah Indonesia. Perluasan inisangat relevan dalam konteks perkembangan teknologidigital dan praktik penegakan hukum yang kian agresif, seperti penyadapan elektronik, serta pembatasan ruanggerak warga atas nama keamanan nasional atau operasitangkap tangan (OTT). Tanpa pengawasan praperadilanyang diperluas, tindakan-tindakan tersebut sangat potensial menimbulkan pelanggaran HAM yang tersembunyi di balik dalih penegakan hukum.

 

Selain itu, RUU KUHAP tetap mempertahankan batas waktu pemeriksaan praperadilan selama 7 hari, sebagaimana diatur dalam KUHAP saat ini. Namun, perbedaan mendasarnya adalah RUU KUHAP menghapus ketentuan gugurnya permohonanpraperadilan apabila perkara sudah dilimpahkan kepengadilan dan pokok perkaranya telah diperiksa dalamsidang pertama. Bahkan, Pasal 154 ayat (1) huruf c RUU KUHAP secara tegas menyatakan bahwa selamapraperadilan masih berlangsung, pemeriksaan pokokperkara di pengadilan tidak dapat dilakukan. 

 

Pengaturan ini secara nyata mengembalikan praperadilankepada marwahnya sebagai mekanisme pengawasanyang efektif dan bermakna. Perluasan kewenanganpraperadilan yang diusung RUU KUHAP bukan sekadarperubahan normatif, melainkan sebuah langkah progresifdalam memperkuat posisi praperadilan sebagai instrumenkontrol dalam sistem peradilan atas tindakan aparatpenegak hukum. 

 

Dengan peneguhan ini, praperadilan tidak hanya menjadilebih relevan, tetapi juga fungsional sebagai alatpenyeimbang kekuasaan dalam proses penyidikan. Praperadilan menjadi jaring pengaman bagi hak-hakwarga negara yang rentan terancam oleh tindakansewenang-wenang aparat penegak hukum.

 

Celah Baru yang Harus Ditutup

 

Pengokohan posisi praperadilan dalam RUU KUHAP patutdiapresiasi. Namun demikian, masih terdapat celah yang perlu segera diperbaiki, khususnya terkait upaya hukumatas putusan praperadilan.

 

Pasal 155 RUU KUHAP memang menyatakan bahwaputusan praperadilan tidak dapat diajukan banding, kecuali dalam perkara yang menyangkut tidak sahnyapenghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Walakin, pengaturan ini menyisakan pertanyaanmendasar: Apakah putusan praperadilan dapat diajukankasasi atau peninjauan kembali (PK) ke MahkamahAgung?

 

RUU KUHAP tidak secara eksplisit mengatur larangantersebut, sehingga menimbulkan kekosongan hukummembuka ruang bagi tafsir yang beragam. Padahal,dalam hukum pidana, yang tidak diatur secara tegassering kali dianggap diperbolehkan, mengingat prinsiphukum pidana yang ketat pada asas legalitas – yang tertulis itulah yang berlaku. 

 

Berangkat dari prinsip tersebut, ketiadaan laranganeksplisit dalam RUU KUHAP dapat dimaknai bahwa upayakasasi maupun PK terhadap putusan praperadilan masihterbuka, meskipun secara praktik dan filosofi hukum acara pidana seharusnya putusan praperadilan bersifat final dan mengikat.

 

Jika merujuk hukum yang berlaku saat ini, posisi putusanpraperadilan memang telah dinyatakan sebagai putusanyang berkekuatan hukum tetap: Pasal 83 ayat (1) KUHAP, melarang upaya banding. Pasal 45A ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menegaskan larangan kasasi. Peraturan MahkamahAgung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan PeninjauanKembali Putusan Praperadilan, mempertegas laranganpengajuan PK.

 

Berdasarkan praktik dan pengaturan yang ada, RUU KUHAP seharusnya secara tegas memasukkan norma larangan upaya hukum atas putusan praperadilan, baikpada tingkat kasasi maupun PK. Kejelasan ini pentinguntuk menutup celah tafsir yang dapat mereduksi maknapraperadilan sebagai instrumen pengawasan yang cepat, efektif dan berkekuatan hukum tetap.

 

Jangan Setengah Hati

 

Penguatan praperadilan dalam RUU KUHAP bukanlahhadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjangmasyarakat sipil, akademisi, advokat, serta para pegiathukum lainnya yang gigih mendorong perubahan sistemperadilan yang lebih beradab dan berkeadilan. Karena itu, perubahan ini tidak boleh dijalankan setengah hati.

 

Pengaturan RUU KUHAP yang memperkokoh kedudukanpraperadilan sebagai instrumen pengawasan proses penyidikan dan upaya paksa adalah harapan baru bagiperlindungan HAM. 


Jangan sampai langkah progresif inidipandang sebagai penghambat proses penegakanhukum. Justru sebaliknya, pengujian tindakan aparat yang berpotensi merampas hak asasi manusia (HAM) adalahmanifestasi dari proses hukum yang bermartabat dan akuntabel. 

 

Praperadilan harus dipahami sebagai mekanisme pentinguntuk menguji dugaan tindakan sewenang-wenang aparatpenegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Tanpa pengawasan praperadilan yang kuat, warga negara akan selalu berada di posisi rentan menghadapi potensipenyalahgunaan kewenangan.


Praktik serupa menjadipilar penting di berbagai tradisi hukum di dunia. Dalam sistem Common Law, mekanisme Habeas Corpus telahmenjadi instrumen fundamental untuk melindungi hakindividu dari penahanan sewenang-wenang oleh negara (Halliday, 2010). Sementara dalam tradisi Civil Law di Eropa, judicial review terhadap tindakan penyidikan dan penahanan aparat dilakukan oleh pengadilan independenyang mengacu pada prinsip yang dijamin dalam Pasal 5 Konvensi Eropa tentang HAM (Sadurski, 2008). Artinya, penguatan praperadilan dalam RUU KUHAP bukanlah halasing, melainkan bagian dari standar global penegakanhukum yang akuntabel dan menghormati due process of law.

 

Selain itu, perlu dipertegas bahwa putusan praperadilantidak selalu memenangkan pemohon atau menyatakanaparat bertindak melawan hukum. Banyak juga putusanpraperadilan yang justru menegaskan tindakan aparatsudah sesuai prosedur. Artinya, keberadaan praperadilanbukan ancaman bagi aparat penegak hukum, melainkanmekanisme penyeimbang yang adil dan objektif. 

Dengan penguatan yang diusung RUU KUHAP, aparatpenegak hukum baik Polri, Kejaksaan, maupun KPK dituntut untuk lebih profesional, hati-hati, dan menghormati prosedur hukum dan HAM dalammenjalankan tugasnya. 

 

Penguatan praperadilan adalah langkah peradabanhukum. Karena itu, negara tidak boleh berhenti di tengahjalan. DPR dan pemerintah harus memastikan bahwaRUU KUHAP benar-benar menjadikan praperadilansebagai institusi yang kuat, independen, dan efektif dalammengawal hak asasi manusia (HAM) serta menegakkanprinsip due process of law.

 

Penulis : Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H. (Penulis merupakan Alumni FH UGM)

Editor : Nur.

×
Berita Terbaru Update