Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Mengapa Ribuan Calon ASN Memilih Mundur dan Apa yang Dirasakan Mereka yang Bertahan?

Minggu, 29 Juni 2025 | 21.25 WIB Last Updated 2025-06-29T14:25:14Z


SIMPULINDONESIA.com_OPINI - Hampir dua ribu calon Aparatur Sipil Negara (ASN) memilih mundur pada tahun penerimaan CPNS 2024.

Fenomena ini mencuat ke publik tak hanya karena jumlahnya yang mencengangkan : 1.967 orang, atau sekitar 12% dari total formasi yang terisi, tetapi juga karena terjadi di tengah tingginya angka pengangguran terdidik.

Mengapa ribuan orang rela melepaskan kesempatan menjadi abdi negara, dan apa yang sebenarnya dirasakan mereka yang memilih tetap bertahan di dalam birokrasi?


Mengapa ASN Mundur Setelah Lolos Seleksi?


Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN-RB menunjukkan alasan utama pengunduran diri berputar pada satu hal mendasar : ketidakcocokan penempatan.

Dari ribuan yang mundur, 1.285 orang mengaku lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal.

Sementara sisanya mundur karena alasan lain : restu keluarga, kewajiban merawat orang tua sakit, atau keinginan melanjutkan studi.

Di balik ini, terdapat skema “optimalisasi formasi” yang menempatkan peserta ke kursi kosong meski bukan pilihannya, atas nama mengisi kekosongan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Skema ini memang menutup formasi kosong, tetapi di banyak kasus justru merusak kecocokan antara peserta dan jabatan yang diterima.

Mereka yang sejak awal hanya berharap ditempatkan di kota besar, mendadak terlempar ke daerah terpencil dengan segala keterbatasan fasilitas dasar.


Dilema ASN yang Bertahan : Antara Tugas Negara dan Keluh Kesah


Bagi mereka yang tetap memilih menjadi ASN, kondisi di lapangan juga tidak selalu indah.

Wawancara media dan laporan beberapa lembaga kebijakan menunjukkan ASN di daerah 3T kerap menghadapi :

  1. Keterbatasan infrastruktur : jalan rusak, listrik tidak stabil, dan akses internet minim.
  2. Ketimpangan tunjangan : insentif khusus daerah terpencil dianggap tidak sepadan dengan tantangan kerja.
  3. Tekanan beban kerja : jumlah ASN yang sedikit membuat satu orang ASN merangkap banyak tugas administratif dan teknis, yang melelahkan secara fisik dan mental.
  4. Rasa terisolasi : ASN muda kerap merasa terputus dari keluarga, lingkungan pergaulan, atau peluang pengembangan diri.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa memilih bertahan bukan tanpa pengorbanan besar, baik secara emosional, sosial, maupun finansial.


Ketidakcocokan Person Job Fit dan Ketidakadilan


Secara ilmiah, teori Person Job Fit dalam psikologi organisasi menjelaskan bahwa kinerja optimal hanya terjadi jika kompetensi, harapan, dan nilai-nilai individu sesuai dengan tuntutan dan kondisi pekerjaan.

Ketika lokasi, beban kerja, dan fasilitas di daerah penempatan jauh dari ekspektasi, hal ini menciptakan dissonance (ketegangan) yang memicu stres dan niat keluar.

Sementara Equity Theory menekankan pentingnya keadilan persepsi antara beban dan imbalan. 

Ketika ASN merasa pengorbanannya (seperti berpisah dari keluarga, hidup di daerah terpencil) tidak dibayar dengan insentif yang sepadan, maka motivasi akan turun, dan potensi turnover meningkat.


Kesenjangan Sistemik : Antara Kebijakan dan Realitas di Lapangan


Sistem rekrutmen ASN saat ini terlalu mengandalkan pemerataan angka formasi tanpa memperhitungkan preferensi individu.

Optimalisasi formasi terkesan hanya mengejar target kuantitatif, sementara kualitas kesesuaian peserta dengan lingkungan kerja diabaikan.

Ini terbukti di instansi yang banyak kehilangan CPNS : Kemendikbud (640 orang mundur) dan Kemenkes (575), yang mayoritas penempatannya di wilayah dengan kebutuhan guru dan tenaga medis di pelosok.

Lebih ironis lagi, negara sebenarnya punya instrumen kebijakan berupa tunjangan khusus untuk ASN di daerah terpencil.

Namun, banyak laporan menunjukkan tunjangan ini tidak efektif, nilainya kecil, atau tidak dibayarkan tepat waktu.

Ini menambah ketidakpuasan ASN yang tetap bertahan.


Apa yang Bisa Dilakukan Negara?


Fenomena pengunduran massal ini bukan hanya masalah ASN individu, tetapi alarm bagi tata kelola SDM birokrasi negara.

Pemerintah perlu segera :

  1. Mendesain ulang skema penempatan dengan memperhatikan preferensi geografis peserta, bukan sekadar mengisi kursi kosong.
  2. Meningkatkan insentif finansial dan non-finansial bagi ASN di daerah terpencil, misalnya : tunjangan khusus, jaminan akomodasi, fasilitas kesehatan keluarga.
  3. Menyiapkan pelatihan mental dan kultural bagi ASN muda agar adaptif terhadap penugasan lintas daerah.
  4. Mengembangkan monitoring kepuasan ASN secara berkala, agar kebijakan berbasis data riil, bukan asumsi.


ASN di Persimpangan Jalan


Fenomena pengunduran diri ribuan CPNS dan keluh kesah ASN yang bertahan di pelosok menjadi cermin kegagalan sistemik dalam penataan SDM birokrasi : negara menuntut kesetiaan, tetapi kerap lupa menyediakan dukungan memadai.

Jika hanya menambal kekosongan dengan optimalisasi formasi, ASN akan terus menjadi korban kebijakan yang tidak manusiawi.

Yang dibutuhkan bukan sekadar distribusi angka, melainkan perencanaan strategis yang menempatkan manusia, bukan hanya jabatan sebagai inti dari birokrasi.
×
Berita Terbaru Update