Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Jangan Jadi Keledai Politik : Luka Lama Jangan Diulang Lagi

Minggu, 22 Juni 2025 | 20.25 WIB Last Updated 2025-06-22T13:25:58Z

Opini 
Oleh : Muhamad Zen

SIMPULINDONESIA.com_ PANGKALPINANG_ Di panggung politik, janji adalah mata uang. Sayangnya, banyak yang nilainya seperti koin mainan- Mengkilap di awal, tapi tak laku saat dibutuhkan. 

Etika dan rasa malu ? Entah sejak kapan memilih pensiun dini. Mengkhianati amanah rakyat bahkan seolah jadi tradisi yang diwariskan secara  turun-temurun. 

Bukan lewat pelajaran sejarah, tapi lewat luka-luka kolektif lima tahunan yang terus diulang, seperti sinetron tanpa akhir.

Rasulullah SAW, manusia paling mulia dan suri teladan umat, pernah bersabda :

"Tidaklah seorang mukmin jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali."
(HR. Bukhari & Muslim)

Sebuah nasihat yang lembut tapi tegas. Rasulullah tak menghardik, tapi memberi isyarat kuat : hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Keledai bukan makhluk jahat, hanya kurang akal  pengalaman dan daya nalarnya. 

Maka, bagi manusia yang dikaruniai akal dan hati nurani, jatuh di lubang yang sama adalah bentuk kelalaian yang tak bisa dianggap wajar—apalagi kalau lubangnya sudah pernah viral.

Mari kita bercermin sejenak.

Pilkada Pangkalpinang 2024 menjadi penanda bahwa kesabaran rakyat bukan tanpa batas. Ketika semua partai kompak mengusung satu calon tanpa lawan, rakyat justru memberi kejutan : mereka memilih "kotak kosong".

Ini bukan bentuk apatisme, tapi perlawanan yang elegan. Karena ketika pilihan tak tersedia, semua partai kompak usung satu nama, seperti jualan nasi bungkus cuma ada satu lauk : harus suka, harus makan. Tapi rakyat justru bilang," Kami puasa saja dulu" Lebih baik berkata "tidak" daripada dipaksa "iya".

Dan kotak kosong pun menang. Sebuah kemenangan yang tak bersuara, tapi menggema hingga ke pusat. Ini bukan sekadar catatan politik, tapi tamparan halus yang menyakitkan bagi mereka yang mengira demokrasi bisa diborong seperti diskon di akhir tahun. Seolah-olah rakyat hanya jadi penonton,bukan pemilik sah republik kecil bernama Pangkalpinang.

Kini, sang petahana datang lagi. Kali ini dengan bendera tobat, jargon baru, dan wajah harapan. Tapi, tobat politik tidak bisa hanya diucap lewat baliho dan stiker. Ia harus dibuktikan dengan perubahan nyata, bukan pengulangan gaya lama.Sebab, seperti kata orang bijak : "Maaf itu mudah, tapi kepercayaan yang hilang tak semudah diganti banner."

Lalu pertanyaannya :
Apakah kita akan jatuh lagi ke lubang yang sama ? Jatuh dua kali di lubang yang sama bukan hanya lebih sakit, tapi juga lebih memalukan. Terlebih jika lubang itu masih berada di tempat yang sama, dengan jebakan yang sama, dan kita tetap masuk dengan langkah yakin serta harapan palsu.

Dan untuk para pendukung petahana, yang masih bersorak tanpa tanya, mendukung tanpa evaluasi jangan sampai kalian ikut mendorong masyarakat masuk ke lubang itu lagi. Jangan sampai semangat buta berubah jadi penyesalan massal. Merenung sebentar tak akan mengurangi loyalitas, justru menunjukkan bahwa cinta sejati juga tahu kapan harus menegur.

Sudah cukup kita terbuai janji manis yang rasanya seperti snack penuh MSG, gurih diawal, tapi bikin darah tinggi dan menyesal di akhir. Pilihlah pemimpin yang lahir dari denyut nadi rakyat, bukan yang muncul mendadak setiap musim kampanye lalu hilang seperti sinyal di tengah hujan deras.

Karena jika keledai saja bisa belajar dari pengalaman, masa kita yang punya ijazah, punya ponsel pintar dan bisa baca tulisan ini- masih mau jatuh di lubang yang sama?


Tentang Penulis :

Muhamad Zen adalah wartawan yang katanya pernah kuliah di Universitas Gunung Maras (UGM)—kampus fiktif yang tidak tercatat di Dikti, tapi diakui oleh para tukang kopi dan aktivis warung. Ia mengaku alumni Fakultas Ilmu Politik Perkeliruan, jurusan Konsentrasi Nyesel Belakangan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia rutin meneliti peristiwa “jatuh ke lubang yang sama” sambil mengamati ekspresi orang-orang yang baru sadar setelah jatuh.

Menurutnya, jatuh di lubang politik untuk pertama kalinya bisa dimaklumi—tapi kalau sampai dua kali, itu bukan kecelakaan, itu pilihan yang menyakitkan.


Catatan Redaksi:
Isi opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas penyajian artikel ini, Anda berhak memberikan sanggahan atau koreksi sesuai hak jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
×
Berita Terbaru Update