![]() |
Dari informasi masyarakat yang diterima oleh CELEBES LAW ADVOCATION bahwa bangunan yang digunakan oleh MR. D.I.Y. diduga kuat belum mengantongi dokumen legal utama berupa Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan/atau Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dugaan tidak adanya dokumen perizinan ini tidak hanya melanggar norma hukum tata bangunan, tetapi juga menimbulkan potensi risiko keselamatan dan keresahan sosial di tengah masyarakat.
Dalam dokumen resmi yang diadukan oleh CEBES LAW ADVOCATION disebutkan bahwa kegiatan pembangunan dan operasional outlet MR. D.I.Y. tersebut berlangsung tanpa memperhatikan kelengkapan administratif, ketentuan teknis bangunan, serta aspek keselamatan dan kesehatan lingkungan sekitar. Hal ini, menurut CLA, merupakan bentuk kelalaian yang patut ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Lebih lanjut, CLA menyoroti bahwa ketidakjelasan status izin bangunan tersebut dapat menimbulkan keresahan warga, terutama karena tidak adanya transparansi dalam proses perizinan serta kekhawatiran atas dampak lingkungan dan keselamatan umum Dalam konteks tata kelola perkotaan yang berkeadilan, kasus ini dinilai mencederai asas tertib ruang dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembangunan.
Sehubungan dengan hal tersebut CLA mendesak Dinas Tata Ruang Kota Makassar untuk segera mengambil langkah-langkah konkret, antara lain:
1. Melakukan Peninjauan langsung serta melakukan evaluasi dan verifikasi seluruh outlet MR. D.I.Y. di Kota Makassar guna penegakan peraturan yang berlaku.
2. Menindak tegas setiap temuan pelanggaran, termasuk menjatuhkan sanksi administratif hingga penutupan operasional sementara atau pembongkaran permanen, sesuai dengan hasil verifikasi dan ketentuan perundang-undangan.
3. Mengimplementasikan sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang menyatakan bahwa pemilik atau pengguna bangunan yang tidak memenuhi syarat keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.
4. Menerapkan ketentuan Pasal 39 dalam undang-undang yang sama, yang mewajibkan pemilik bangunan untuk memenuhi seluruh persyaratan administratif dan teknis, serta membuka jalan bagi sanksi pembongkaran apabila kewajiban tersebut diabaikan.
Direktur Investigasi CLA Fathul Ba'ari, S.H., M.H. Menekankan bahwa pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) secara benar oleh pelaku usaha tidak hanya menjadi kewajiban hukum, melainkan juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagaimana diketahui, PBG yang saat ini menggantikan fungsi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikenakan retribusi resmi oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, semakin banyak bangunan yang legal dan terdokumentasi melalui PBG, semakin besar pula potensi penerimaan daerah yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan pelayanan publik."
Ia menegaskan bahwa langkah hukum ini tidak dimaksudkan untuk menghambat iklim usaha, melainkan justru untuk mendorong seluruh pelaku usaha agar patuh terhadap sistem hukum dan berkontribusi terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan dan aman. Kepatuhan terhadap perizinan tidak hanya menjadi kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Kami mendorong agar Pemerintah Kota Makassar melalui Distaru menunjukkan ketegasan dalam menjaga wibawa regulasi tata ruang. Kasus ini harus menjadi preseden positif untuk menegakkan prinsip keadilan dan ketertiban hukum dalam pembangunan perkotaan,” tegasnya
Sebagai bagian dari komitmen terhadap kepentingan publik, Celebes Law Advocation membuka diri untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan instansi terkait, termasuk Pemerintah Daerah, DPRD, serta elemen masyarakat sipil, dalam upaya mewujudkan tata kota yang sehat, aman, dan berintegritas dalam penegakan UU demi terciptanya rasa keadilan di tengah Masyarakat.
Sumber: Tim CLA