KENDARI__SIMPULINDONESIA.COM,— Penetapan Direktur PT Golden Anugrah Nusantara (GAN), MJO, sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara membuka babak baru drama hukum yang sarat kejanggalan. Jumat (05/12/2025).
Kejanggalan tersebut diungkap Serly Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Halu Oleo (UHO).
Menurutnya bagaimana mungkin pelapor dugaan pemalsuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) justru berbalik dipidanakan.
“Pertanyaan itu semakin wajar muncul ketika kuasa hukum MJO mengungkap adanya dugaan intimidasi dari seorang mantan Kapolda Sultra, yang memaksa kliennya mencabut laporan pada tahun 2021 lalu,”Ujar Serly.
Jika benar tekanan itu terjadi kata Serly maka publik pantas bertanya: apakah hukum di Sultra benar-benar berjalan objektif, atau justru dikendalikan oleh kekuatan di luar jalur formal?
Serly megungkap bahwa kasus ini bermula dari laporan PT GAN atas dugaan pemalsuan dokumen IUP Nomor 540/62/2011 milik PT Citra Silika Malawa.
Tiga pejabat pemerintah diketahui menerangkan bahwa IUP tersebut hanya seluas 20 hektare, namun dalam MODI Minerba tercatat menjadi 475 hektare.
“Perubahan data seluas ini bukanlah selisih kecil melainkan indikasi serius adanya perbuatan melawan hukum. MJO sebagai pihak yang melapor telah menjalankan hak legal yang dijamin oleh Undang-Undang,”Jelas Serly.
Alih-alih pelaporan ditindaklanjuti secara tuntas, MJO kini justru ditetapkan sebagai tersangka.
Kuasa hukumnya menilai bahwa dasar penetapan tersebut terlalu bertumpu pada keterangan Satgas, tanpa menguji saksi kunci seperti mantan Bupati Kolaka Utara.
“Intimidasi yang diakui terjadi pada 2021 kini seolah “menemukan jawabannya” melalui penetapan tersangka tahun 2025. Jika benar demikian, maka legal process berubah menjadi tool of power,”Terang Serly.
Seharusnya kata Serly pelapor wajib mendapat perlindungan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku diantaranya; Pasal 108 KUHAP (masyarakat berhak melapor tindak pidana) UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (pelapor tidak boleh diintimidasi atau dikriminalisasi). Pasal 21 UU (Tipikor mengatur larangan menghalang-halangi pelaporan pidana korupsi) Asas Due Process of Law dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945 (segala tindakan penegak hukum wajib sesuai prosedur).
“Jika intimidasi benar dilakukan oleh mantan pejabat kapolda SULTRA, maka hal tersebut berpotensi melanggar; Abuse of power / Penyalahgunaan wewenang UU No. 30 Tahun 2014 tentang (Administrasi Pemerintahan) Pasal 17) Ancaman pidana Pasal 421 KUHP (pejabat menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang) Pasal 368 KUHP (pemerasan melalui ancaman) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri (polisi wajib menjamin keadilan dan tidak berpihak),”Tuturnya.
Sehingga menururnya pengusutan dugaan intervensi mantan Kapolda tersebut bukan sekadar keinginan pelapor melainkan kewajiban hukum.
“SULTRA tidak boleh menjadi panggung di mana hukum tunduk pada ancaman dan kekuasaan. Bila pelapor kriminalisasi, maka pesan yang diberikan negara kepada rakyatnya adalah jelas “Diamlah. Jangan melawan kepentingan besar.” Dan jika itu benar terjadi maka demokrasi kita tengah menghadapi ancaman yang jauh lebih besar daripada sekadar pemalsuan satu izin tambang,”Pungkas Serly.
Sampai berita ini ditayangkan, Tim SIMPULINDONESIA.COM masih berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak terkait.



