NASIONAL__SIMPULINDONESIA.COM,— Narasi di publik terbelah antara putusan yang menkriminalisasi guru, dan komitmen pengadilan melindungi anak dari pelecehan. Selasa (09/12/2025).
Dilansir dari MARINews, media sosial diramaikan oleh peristiwa putusan perkara pidana Nomor 249/Pid.Sus/2025/PN Kdi. Putusan tersebut dibacakan pada Senin, (1/12/2025) di Pengadilan Negeri (PN) Kendari.
Majelis Hakim yang diketuai Frans W. S. Pangemanan menyatakan terdakwa Mansur B. alias Maman bersalah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) jo Pasal 76E UU Perlindungan Anak, dan dijatuhi pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 1 milyar subsider 3 bulan kurungan.
Narasi di publik terbelah antara putusan yang menkriminalisasi guru, dan komitmen pengadilan melindungi anak dari pelecehan.
Narasi yang muncul di permukaan menampilkan gambaran yang tak utuh dari keseluruhan peristiwa, antara lain guru hanya diduga memegang jidat siswa, dalih membantu siswa demam.
Sementara sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan ternyata yang terjadi jauh dari sekedar hanya pegang jidat.
Fakta hukum yang terungkap di persidangan, ternyata Terdakwa beberapa kali melakukan perbuatan yang menjurus pelecehan seksual.
Terdakwa pernah merangkul dan mengelus pundak sebelah kiri Anak Korban, yang saat itu posisi Terdakwa dari arah sebelah kanan dengan menggunakan tangan sebelah kiri, pernah pula Terdakwa mengelus pinggang sebelah kiri Anak korban.
Terdakwa pernah pula pegang tangan Anak korban dan cium di pipi kiri, pipi kanan dan dahi dengan cara bibir Terdakwa dilipat ke dalam kemudian Terdakwa mencium Anak korban pada pipi kiri, pipi kanan dan dahi.
Terdakwa pernah menggelitik bagian tengah telapak tangan Anak korban, Terdakwa pernah mengatakan kalau Terdakwa sayang sama Anak korban dan Terdakwa menginginkan agar Anak korban menjadi anaknya, Terdakwa sering memberi Anak korban uang, dan Anak korban hampir dicium dengan bibir Terdakwa dengan jarak 2 jari dengan cara Terdakwa memegang pipi Anak korban dengan sangat kuat.
Itu bukan sekedar peristiwa namun telah dikualifisir oleh Majelis Hakim dengan meramu fakta-fakta yang beriak dari berbagai alat bukti dan menyusunnya menjadi suatu bangunan peristiwa, sehingga nampak niat jahat (mens rea) dari Terdakwa.
Fakta rasa trauma yang diderita oleh Anak Korban pun dikuatkan dengan hasil pemeriksaan psikologis dari Psikolog Astri Yunita, yang menerangkan Anak Korban mengalami beberapa reaksi stres dan kecemasan pasca peristiwa traumatik yang dialaminya.
Perubahan tersebut muncul dalam aspek kognitif/persepsi, aspek emosi, aspek perilaku dan aspek fisik. Gejala-gejala yang dialami klien memenuhi syarat penegakan diagnosis Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD), dimana gangguan ini sering kali muncul sebagai respons awal terhadap peristiwa traumatis.
Narasi bahwa vonis Majelis Hakim disusun hanya berdasarkan keterangan seorang saksi saja, namun faktanya setidaknya dalam persidangan dihadirkan Anak Korban, meski tidak disumpah karena statusnya masih di bawah 15 tahun, namun ada saksi yang lain yang di bawah sumpah menerangkan bahwa Ia pun menerima perbuatan yang menjurus pelecehan dari Terdakwa.
Perlu pula ditekankan saat ini perkembangan hukum mengarah ke citra yang progresif. Dulunya berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP, “Saksi hanya orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
Namun saat ini Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 memberikan terobosan penting yang menegaskan “keterangan saksi tidak harus dimaknai secara sempit, sepanjang keterangan tersebut relevan dan dapat dipertanggungjawabkan di persidangan”.
Bahkan dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dijelaskan “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara TPKS yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara TPKS meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan TPKS”.
Pasal 25 ayat (1) UU TPKS bahkan menerangkan, “Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah”.
Sehingga saat ini pada perkara TPKS meskipun berangkat dari keterangan seorang Saksi atau Korban semata yang disertai dengan alat bukti sah lainnya dan Hakim meyakini telah terjadi TPKS maka seorang Terdakwa telah dapat dinyatakan bersalah.
Berangkat dari Kasus Terdakwa Mansur, dalam perkaranya tidak hanya Anak Korban yang memberikan keterangan namun orang tua, dan 2 orang Anak Saksi lainnya telah memberikan keterangan yang bersesuaian, ditambah sebuah bukti surat berupa Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologis dari Psikolog, berangkat dari bukti-bukti tersebut memunculkan keyakinan pada Hakim akan kesalahan Terdakwa.
Pada akhirnya putusan Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan keterangan saksi saja, tetapi juga menimbang dampak psikologis yang dialami korban.
Laporan psikologis menunjukkan anak korban mengalami trauma dan gangguan stres akut pasca peristiwa, sehingga majelis hakim menilai perbuatan terdakwa sangat merusak perkembangan anak.
Majelis Hakim PN Kendari telah memilih langkah untuk menegakkan hukum demi kepentingan terbaik bagi anak. Putusan tersebut menjadi pesan moral bahwa profesi pendidik tidak boleh disalahgunakan untuk merusak kepercayaan dan masa depan generasi muda.
Tulisan diatas dilansir dari halaman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, (MARINews) yang ditulis oleh kontributor MARINews.



