Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Opini : Sanksi Chat Mesum Rektor UNM, Oleh Syahrul Gunawan.,S.H.,M.H.

Minggu, 24 Agustus 2025 | 19.23 WIB Last Updated 2025-08-24T12:26:17Z

Gambar : Syahrul Gunawan.,S.H.,M.H., Mahasiswa Doktoral FH UMI. (Foto/Ist).



SIMPULINDONESIA.COM__MAKASSAR,—Gelombang integritas menghantam Universitas Negeri Makassar (UNM). Tak main-main, Rektornya (Prof Karta Jayadi/Prof Kaje) dirundung kasus amoral. 


Lakonnya mengirim chat dengan konten porno dikuak media ke publik. Korbannya adalah anak buahnya sendiri. Dosen wanita yang mengajar di UNM.


Perilaku mesum Prof Kaje rupanya telah berlangsung sejak lama. Jauh sebelum dirinya terpilih menjadi Rektor UNM. Kiriman konten-konten pornonya telah dimulai kala menjabat sebagai Wakil Rektor II, yang membidangi urusan umum dan keuangan kampus.


Pengakuan Dosen Wanita yang menjadi korban dari Prof Kaje, tak tahan lagi. Meski sempat menolak secara halus, menampik bahkan tidak membalas chat, dirinya selalu saja mendapatkan kiriman konten prono hingga ajakan ke Hotel. 


Kini, Dosen Wanita yang enggandisebut namanya oleh media mengalami trauma. Kasus amoral yang terjadi didunia pendidikan tinggi bukanlah hal baru. Di Universitas Gadjah Mada terdapat Prof Edy Meiyanto yang berujung pemecatan. Universitas Sriwijaya, Dosen Aditya Rol Azmi berujung hukuman penjara. Dan tahun lalu Dosen Prof Barlian dari Universitas Haluoloe juga dihukum penjara, namun terhindar dari pemecatan.


Jika berkaca pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan tinggi, kasus Prof Kaje terbilang unik, sebab korbannya adalah Tenaga Pendidik atau dosennya sendiri. Yang marak terjadi, korbannya adalah mahasiswa. Kasus tersebut terjadi karena ada relasi kuasa, antara Dosen dan Mahasiswanya.


Sungguh perilaku Prof Kaje tidaklah mencerminkan Pemimpin dan Pendidik dengan moralitas tinggi bagi cerdasnya kehidupan bangsa. Sekiranya benar pemberitaan media itu, maka Prof Kaje harus dijerat pidana, dicabut gelar guru besarnya dan diberhentian secara tidak hormat sebagai tenaga Pendidik. Di berikan hukuman seberat-beratnya.


Terhadap Dosen Wanita terduga korban Prof Kaje harus diberikan pendampingan, perlindungan dan pemulihan psikis, sebab dalam banyak kasus kekerasan seksual, selalu saja korban disudutkan dengan cerita miring, bahkan dilaporkan balik dengan ancaman pencemaran nama baik.


Pidana Kekerasan Seksual 


Sejak tahun 2022, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), memberi ruang menjerat pelaku kekerasan seksual. Melalui UU PKS, ragam perbuatan kekerasan seksual yang dulunya tidak dapat dijerat pidana, menjadi dapat dipidana.


Setidaknya terdapat 9 (sembilan) perbuatan kekerasan seksual yang diatur dalam UU PKS, diantaranya: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan terakhir adalah kekerasan seksual berbasis elektronik. 


Varian tindak pidana kekerasan seksual ini dapat dibaca dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS. Tindakan Prof Kaje Mengirimkan chat dengan muatan kata-kata seksual, video porno bahkan mengajak kehotel dengan tujuan seksual diluar keinginan Dosen Wanita tersebut adalah wujud dari tindak pidana kekerasan seksual berbasis eletronik. 


Ancaman pidananya paling lama 4 (empat) Tahun dan dapat diikuti dengan denda sebesar dua ratus juta rupiah; Bahkan jika ternyata terbukti tindakan Prof Kaje kepada Dosen Wanita tersebut dilakukan dengan tujuan pemerasan atau memperdaya korban, maka kepadanya dapat dijerat pidana (6) enam tahun dan dapat dikenakan denda hingga tiga ratus juta rupiah. Demikian Pasal 14 UU TPKS mengaturnya.


Dengan status sebagai Rektor UNM sudah sepatutnya dihukum pidana seberat-beratnya. Ruang hukuman pemberatan baginya terbuka lebar. Prof Kaje dapat ditimpakan tambahan hukuman sepertiga dari pidana asalnya, sebab dirinya adalah tenaga pendidik. Dosen dengan gelar guru besar. Yang amat sangat tepelajar.


Tambahan hukum sepertiga dari hukuman pokok dapat dilihat pada Ketentuan Pasal 15 ayat 1 huruf b dan d UU TPKS. Rasio mengapa dapat diberikannya pemberatan hukuman kepada Prof Kaje, alasannya karena kapasitas Prof Kaje bukan hanya tenaga pendidik/guru besar, namun dirinya adalah pimpinan Perguruan Tinggi, tempat korban bekerja sebagai Dosen.


Terdapat relasi kuasa disana antara Pimpinan Perguruan Tinggi dengan Dosen selaku anak buah yang tak berdaya dihadapan kekuasaan Rektor. 


Copot dan Pecat 


Pada tahun 2021, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Dan Tekhnologi telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di lingkungan Perguruan Tinggi (Permenristekdikti 30/2021). Setiap Perguruan Tinggi diwajibkan membentuk Satuan Tugas Pencegahan Dan Penanganan kekerasan Seksual.


Dalam Permenristekdikti 30/2021 telah diatur sanski bagi pelaku kekerasan seksual. Pelaku yang berstatus Pendidik dikenakan sanksi administratif. Bentuknya: pemberhentian sementara dari jabatan tanpa hak jabatan, hingga pemberhentian tetap dari jabatan dan tenaga pendidik. Prosesnya dikerjakan oleh satuan tugas hingga berujung pada penjatuhan

sanksi oleh pejabat berwenang.


Bagaimana jika pelaku kekerasan seksual adalah Pimpinan Perguran Tinggi semisal Prof Kaje? Satuan Tugas dari UNM yang memeriksa kasus tersebut wajib meneruskan rekomendasi sanksi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang membidangi Pendidikan Tinggi. Satuan Tugas harus sepatutnya merekomendasikan pencabutan gelar guru besar, copot dari rektor hingga pemecatan sebagai dosen UNM. Disinilah tantangan bagi Satuan Tugas UNM. 


Komitmen UNM untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual mendapatkan ujiannya karena terduga pelaku adalah Pimpinan Perguruan Tinggi. Rektornya sendiri. Satuan Tugas harus menegakkan kehormatan UNM, seperti tegaknya budaya siri sebagai nilai moral yang dianut di Sulawesi Selatan.


Lindungi Korban


Kita harus mengapresiasi keberanian Dosen Wanita UNM yang melantangkan perbuatan rektornya. Namun apresiasi saja tidak cukup. Kepadanya harus diberikan pendampingan pelaporan, perlindungan dan pemulihan psikis. Tanggung jawabnya ada pada satuan tugas

UNM dan pemerintah, serta aparat penegak hukum yang related.


Pendampingan kepada Korban urgent adanya karena perbuatan yang ditujukan kepada Prof Kaje adalah delik aduan. Perbuatan yang hanya dapat diadili jika ada aduan dari korban. Proses pelaporan demikian potensi mengalami hambatan, dan dapat digunakan sebagai celah untuk menghambat pengungkapan perbuatan Prof Kaje.


Biasanya, untuk menghalangi korban mengadukan perbuatan kekerasan seksual dilakukan dengan banya cara. Mulai dengan menyerang psikis korban dengan membangun narasi ke publik seolah korban yang merayu Pelaku. Mengacam akan melaporkan korban melakukan pencemaran nama baik, hingga pendekatan persuasif berupa iming-iming ganti rugi serta teror kepada keluarga korban.


Pada titik inilah dinantikan komitmen semua pihak untuk menghindarkan Perguruan Tinggi dari praktik kekerasan seksual. Perilaku demikian sudah sepantasnya untuk di kecam bersama. Bagi pemajuan Perguruan Tinggi. Tempat dicetaknya generasi bangsa yang bermoral. 


Andai aparat penegak hukum, satuan tugas hingga pemerintah mendiamkan kasus Prof Kaje, menutup mata kasus kekerasan seksual, kedepannya akan banyak terjadi kasus kasus serupa di dalam kampus. Maka terwujudlah adagium “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Nauzubillah.


Penulis : Syahrul Gunawan.,S.H.,M.H., Mahasiswa Doktoral FH UMI / Advokat Muda Makassar.

×
Berita Terbaru Update