OPINI
Oleh : Muhamad Zen
SIMPULINDONESIA.com_ BANGKA BELITUNG,- Di perairan Tembelok, Kecamatan Mentok Kabupaten Bangka Barat, kehadiran deburan ombak yang menerpa pantai bukan hanya membawa riak air asin saja, tetapi juga riak kehidupan.
Di balik kerangka hukum yang tegas dan pasal-pasal yang kaku, ada wajah-wajah manusia yang berjuang mempertahankan hidup. Para penambang, pedagang, nelayan dan keluarga mereka terikat dalam satu simpul bernama ekonomi bertahan hidup.
Sejak beberapa hari terakhir, tambang laut Tembelok kembali hidup. Seiring dengan kembali beroperasi aktivitas tersebut, warung kopi ramai, pedagang kecil tersenyum lega, perahu nelayan yang dulu sepi kini kembali berlayar.
Bagi masyarakat, tambang yang disebut ilegal ini adalah secercah harapan di tengah sulitnya ekonomi. Namun, bagi pemerintah, tambang tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah pelanggaran hukum yang harus ditindak.
Inilah kontradiksi besar kita : hukum menegaskan larangan, sementara realitas hidup menuntut kelonggaran. Penambang Tembelok hanyalah rakyat kecil yang mempertaruhkan nasib, bukan pemodal besar yang bermain di ruang abu-abu.
Mereka butuh perlindungan hukum, bukan sekadar penertiban. Negara semestinya hadir bukan hanya sebagai "Penjaga Palu" yang menindak, tetapi juga sebagai "Penganyom" yang mencarikan jalan tengah antara hukum dan kesejahteraan.
Sesungguhnya, rakyat adalah pemegang daulat atas kekayaan alam negeri ini. Sudah sepatutnya mereka ikut menikmati hak sebagai pemilik, bukan hanya menjadi penonton atau tersangka di tanahnya sendiri.
Negara hadir untuk mengatur, bukan menggusur. Perusahaan hadir untuk membantu mengelola, bukan mengambil alih. Jika mandat pengelolaan diberikan kepada institusi resmi, mandat itu mestinya berjalan seiring dengan keberpihakan pada rakyat—bukan justru menjauhkan rakyat dari sumber kehidupannya.
Kini, pemerintah punya pilihan : Menutup tambang berarti memutus mata pencaharian ribuan orang. Membiarkan tambang liar berarti melemahkan wibawa hukum. Tapi ada opsi ketiga : Merangkul Menata, dan Melegalkan.
Dengan alokasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), pembinaan, pengawasan, serta standar lingkungan dan keselamatan, negara dapat memastikan tambang berjalan tertib sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Opini ini bukan untuk pembenaran atas pelanggaran hukum, melainkan ajakan untuk melihat masalah secara manusiawi. Ada saatnya Hukum menjadi panglima, tetapi ada saatnya Hukum harus menjadi jembatan menuju keadilan sosial.
Tembelok adalah cermin dilema nasional: bagaimana menegakkan hukum tanpa memutus napas rakyat kecil. Jika pemerintah mampu membaca realitas ini, kebijakan yang lahir bukan hanya berupa larangan, tetapi juga peluang. Dan di situlah negara benar-benar hadir bukan sekadar mengadili, tetapi juga memanusiakan.
Tentang Penulis:
Muhamad Zen
seorang jurnalis dan aktivis sosial Bangka Belitung.
Selain sebagai wartawan, Zen dikenal luas sebagai penggerak berbagai organisasi masyarakat. Prinsipnya sederhana namun kuat : Masyarakat harus mendapatkan tempat yang adil dalam kebijakan publik dan pengelolaan sumber daya alam.
Tulisan ini adalah suara yang lahir dari nurani warga yang mencintai tanahnya. Tujuan tulisan ini bukan untuk menyalahkan apalagi melegalkan yang ilegal, tapi untuk mengajak kita semua untuk pulang kepada keberpihakan dan kepada kedaulatan rakyat itu sendiri. (Aimy).