-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan

Jaksa Mangkir, Ditunda atau Putusan Gugur?

Kamis, 30 November 2023 | 08.05 WIB | 0 Views Last Updated 2023-11-30T03:10:31Z

Gambar : Muhammad Rizal Hadju.,S.H. (Foto/Ist).


SimpulIndonesia.com __SULTRA,— Proses persidangan kasus korupsi eks Walikota Kendari Sulkarnain Kadir di Pengadilan Tipikor Kendari menuai protes. Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta Ketua Majelis Hakim untuk mundur dan menolak mengikuti persidangan sampai Ketua Majelis Hakim diganti.

 

Alasan JPU meminta Ketua Majelis Hakim mundur karena dianggap konflik kepentingan. Vonis bebas terhadap 2 (dua) terdakwa lainnya menjadi pemicu sikap JPU. Dalam pandangan JPU, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan saksi dan Ahli yang diajukannya, serta lebih mengakomodir pembelaan yang diajukan Penasihat Hukum.

 

Akibatnya, persidangan pun tidak dapat dilanjutkan. Meski Ketua Majelis Hakim telah mengingatkan JPU untuk tetap mengikuti persidangan dengan ancaman contempt of court (penghinaan pengadilan), tak menyurutkan langkah JPU untuk meninggalkan persidangan. Sidang terpaksa ditunda satu pekan. Apesnya, pada sidang pekan berikut, JPU tetap tak hadir. Teguh pada sikapnya, akan hadir jika Ketua Majelis Hakim terganti.

 

Sampai pada tulisan ini dibuat, persidangan kasus tersebut belum berjalan. Majelis Hakim pun tetap melayangkan panggilan sidang kepada JPU. Menanti JPU datang hadiri persidangan sembari membawa alat bukti. Sebab persidangan tak mungkin berjalan tanpa JPU. Tanpa Alat Bukti.

 

Situasi demikian menimbulkan problematik hukum. Berbeda dengan Terdakwa. Jika Terdakwa mangkir dari persidangan, dikenal model peradilan in absentia. Persidangan tanpa kehadiran Terdakwa. Namun peradilan In Absentia tidak ditujukan bagi ketidakhadiran JPU.

 

Bagaimana pun, sikap JPU yang mengolor-olor persidangan dalam bentuk menolak menghadiri persidangan, akhirnya merugikan Terdakwa. Kepastian hukum atas status terdakwa semakin menggantung. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) dibentuk, salah satunya untuk menjamin Terdakwa mendapatkan keadilan yang fair dan cepat.

 

Dimasa mendatang, KUHAP perlu direvisi. Perlu diatur ketidakhadiran JPU tanpa alasan yang sah. Jika JPU telah dipanggil dan diperintahkan secara patut untuk sidang namun sengaja ingkar, maka demi hukum Hakim harus segera memutus perkara, dakwaan dinyatakan gugur. Demi keadilan Terdakwa.

 

Berhalangan Tetap

 

Dalam KUHAP dimungkinkan pergantian atas JPU jika tidak hadiri sidang. Begitupula pergantian atas Majelis Hakim dan Kuasa Hukum Terdakwa. Pergantiannya disebutkan dalam Pasal 198 KUHAP. Alasan penggantiannya hanya jika berhalangan tetap.

 

Ketentuan Pasal 198 ayat (1) KUHAP secara expressive verbis menyebutkan “dalam hal Hakim atau JPU berhalangan maka Ketua Pengadilan atau Pejabat Kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut”.

 

Khusus mengenai ketidakhadiran JPU, alasan “berhalangan tetap” harus terukur dan terterima secara hukum. Misalnya karena JPU sakit, ada tugas negara atau karena JPU nya telah mengundurkan diri atau telah dipecat.

 

Alasan menolak hadiri sidang karena tidak menerima putusan Hakim bukanlah alasan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 198 ayat (1) KUHAP. Jika JPU tidak menerima putusan bebas yang dijatuhkan hakim, mereka dapat mengajukan kasasi.

 

Meskipun dalam praktek jarang ditemui JPU berhalangan mengkuti sidang Pengadilan. Hal ini karena dalam setiap perkara pidana, biasanya ditentukan JPU nya lebih dari 1 (satu) orang. Tujuannya untuk mengantisipasi jika ada yang berhalangan dapat digantikan oleh rekan JPU lainnya, agar proses persidangan tetap berjalan.

 

Beda dengan Hakim dan JPU. Jika Penasihat Hukum yang berhalangan hadir, maka ditunjuk penggantinya. Namun jika penggantinya tetap berhalangan, maka persidangan tetap berjalan. Diatur dalam Pasal 198 ayat (2) KUHAP.

 

Bagaimana pabila JPU dengan sengaja tidak mau mengahadiri persidangan? atau bagaimana jika pengganti JPU juga sengaja mengabaikan panggilan sidang? Tidak diatur dalam KUHAP. Tentu saja persidangan tidak dapat dilanjutkan.

 

Dalam hal JPU sengaja menolak bersidang, maka pemeriksaan perkara dipersidangan dipastikan terhenti. Persidangan tidak mungkin dilanjutkan sebab posisi JPU adalah pemilik perkara. Pengendali perkara (dominus litis). Seluruh alat bukti secara fisik berada pada penguasannya.

 

Tetapi, hukum memiliki alat paksa untuk memastikan JPU hadir dipersidangan. Tersedia ancaman pidananya, yaitu perintangan persidangan (Obstruction Of Justice). Pasal 21 UU Tipikor. Ancaman hukumannya paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

 

 

Tunda Dan Putusan Gugur

 

KUHAP masih banyak kekurangan dalam acaranya. Tidak terdapat pengaturan dalam hal JPU dengan sengaja mangkir dan menolak hadiri persidangan yang telah ditetapkan waktunya oleh Hakim.

 

Pasal 198 ayat (1) KUHAP hanya mengatur pergantian JPU dalam hal berhalangan yang sah secara hukum. Namun dalam hal JPU secara arogan tidak mau hadir dengan alasan yang irrasional, tidak diatur bagaimana status perkara yang sedang diperiksa. Hakim tetap harus menunggu sampai JPU hadir sidang.

 

Padahal penanganan kasus korupsi pada setiap tingkatan pengadilan diatur limitasi waktunya. Untuk Pengadilan Tipikor tingkat pertama paling lama 120 (seratus dua puluh) hari sejak perkara dilimpah ke pengadilan Tipikor. Diatur dalam Pasal 29 UU Tipikor.

 

Dengan adanya limitasi penyesaian perkara ditingkat Pengadilan, sesungguhnya tidak tersedia ruang bagi penundaan berlama-lama penanganan perkara di persidangan. Itulah mengapa dalam UU Tipikor dikenal peradilan in absentia. Untuk menghindari ketidakhadiran terdakwa dipersidangan.

 

Namun kekosongan pengaturan dalam hal JPU dengan sengaja dan arogan menolak sidang bukan karena alasan berhalangan tetap sebagaimana dimaksud oleh KUHAP perlu diantisipasi, agar kepastian hukum dapat tercapai dengan proses yang cepat dan berkeadilan.

 

Barangkali penting untuk mengadopsi model pemeriksaan perkara perdata. Jika pihak Penggugat telah dipanggil secara patut namun menolak hadir sidang secara berturut-turut dengan alasan yang tidak sah, maka Perkara diputus gugur.

 

Meskipun perkara perdata dan perkara pidana adalah dua hal yang berbeda, satunya berada pada wilayah hukum privat dan pidana adalah hukum publik namun kepastian akan status perkara yang disidangkan haruslah mendapatkan kejelasan. Apalagi tujuan pembentukan KUHAP salah satunya adalah melindungi hak asasi Terdakwa, yang harus segera mendapatkan kepastian keadilan.

 

Kepastian keadilan bukan hanya diwujudkan dengan kepastian waktu persidangan, namun juga harus mampu mengantisasipasi adanya tindakan salah guna kewenangan dari JPU yang sengaja mangkir dari persidangan dengan tujuan menekan hakim yang mengadili perkara.

 

JPU sebagai pengendali perkara yang menjalankan tugas menuntut mewakili negara tidak boleh mendikte proses persidangan semaunya. Ia harus tunduk pada perintah hakim. Tak boleh menolak sidang sekehendaknya sendiri.

 

Lagi-lagi KUHAP harus mengantisipasi kejadian serupa dikemudian hari. Jika JPU telah diperintahkan secara patut untuk bersidang nemun menolak, maka hakim menunda persidangan untuk 2 (dua) kali masa sidang, dan setelahnya jika tetap tak hadir, perkara harus diputus dengan menyatakan “dakwaan gugur” dengan tambahan amar “perkara tidak boleh diajukan kembali”.

 

Putusan “dakwaan gugur dengan konsekuensi perkara tidak dapat diajukan kembali” dapat menjadi pecut bagi Penuntut Umum agar serius dalam mengelola perkara. Selain itu, bukankah “membebaskan orang yang bersalah lebih baik dari pada menghukum orang yang tidak bersalah”.

 

 

Penulis: Muhammad Rizal Hadju.,S.H., Praktisi Hukum serta Alumni Universitas Haluoleo.

Iklan

×
Berita Terbaru Update